Bencana yang terjadi di Lombok dan Palu dalam waktu
yang berdekatan belum lama ini, kembali mengingatkan kita bahwa bencana bisa
terjadi dimanapun, kapanpun dan menimpa siapa saja. Gempa beruntun yang dialami
masyarakat Lombok dan sekitarnya sejak tanggal 29 Juli 2018 maupun gempabumi
yang disusul dengan terjadinya tsunami dan likuikfaksi di Palu yang terjadi
pada tanggal 28 September 2018, membuka mata kita bahwa kesiapsiagaan itu
penting dilakukan dan perlu terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan
rawan bencana.
Video yang viral di media sosial saat terjadinya
tsunami sesaat setelah terjadinya gempabumi di Palu menunjukkan bahwa masih
banyak masyarakat yang tidak mengetahui untuk segera berlindung menuju tempat
yang tinggi apabila terjadi gempa besar dan posisi kita berada dekat dengan
pantai. Padahal, siapa yang tidak mengetahui peristiwa tsunami yang terjadi di
Aceh 26 Desember 2004 yang memakan jumlah korban ratusan ribu jiwa tersebut,
dimana banyak orang yang tanpa sadar “malah” mendekati bibir pantai untuk
memunguti ikan-ikan yang banyak terdampar karena air laut surut sehingga
akhirnya tergulung ombak tsunami dan menjadi korban. Dari peristiwa tersebut
kita belajar bahwa masyarakat yang tinggal di pinggir pantai perlu segera
berlindung ke tempat/daratan tinggi sesaat setelah terjadinya gempa. Jangan
abai, karena sepersekian menit dari waktu tersebut bisa menyelamatkan jiwa
kita, keluarga dan orang-orang di sekitar kita.
Data BNPB mencatat, sepanjang Tahun 2017 terjadi
2.372 kejadian bencana, dari kejadian tersebut 377 jiwa meninggal, 47.963 rumah
rusak, 1.276 fasilitas pendidikan rusak, 114 fasilitas kesehatan rusak, 699
fasilitas peribadatan rusak, dan total 3,49 juta jiwa terdampak dan mengungsi
akibat kejadian bencana tersebut. Data Tahun 2018 belum dirilis tetapi bisa
dipastikan jumlah korban jiwa, fasilitas umum dan sosial, serta jumlah
masyarakat terdampak dan mengungsi akibat kejadian bencana lebih besar dari
yang terjadi di tahun 2017.
Distribusi
kejdian bencana per kabupaten 1815 – 2017
Sumber: http://dibi.bnpb.go.id
Kerugian
akibat bencana tahun 2017
Sumber:
http://inarisk.bnpb.go.id
Disadari atau tidak, pada akhirnya, masyarakatlah yang secara
langsung merespons ketika terjadi bencana.
Dalam hal ini, kesiapsiagaan melalui pendidikan dan pelatihan menjadi bagian
daripada upaya preventif sebelum memakan korban. Hal tersebut telah disampaikan
oleh Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dalam acara World Tsunami Awareness
(2016) bahwa "Awareness ini artinya kesiapan atau kehati-hatian. Jadi yang
kita harapkan adalah memasyarakatkan persiapan apabila ada bencana. Persiapan
diri mendidik." Mencegah sebelum dan selagi bencana Mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana). Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mengelola
penanggulangan bencana dengan sebaik-baiknya yang salah satunya dengan
menetapkan Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia yang resmi
berlaku tanggal 26 April 2007. Tanggal ini kemudian dijadikan sebagai Hari
Kesiapsiagaan Bencana, dimana para penggiat bencana maupun masyarakat dapat
berpartisipasi untuk turut serta melakukan kegiatan kesiapsiagaan seperti
simulasi bencana dan sebagainya. Melalui Undang-Undang ini pula didirikan
lembaga negara setingkat kementerian yang bertugas menanggulangai bencana di
Indonesia yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dengan
didukung oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang bisa menjadi wadah kuat dalam masalah kebencanaan di
Indonesia.
BNPB pada awal terbentuknya sebenarnya telah mengeluarkan
buku saku yang melingkupi prosedur kedaruratan seperti gempa bumi, tsunami,
gunung api, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gelombang pasang,
kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, kecelakaan transportasi, dan lainnya.
Buku ini telah secara lengkap memaparkan prosedur menghadapi bencana bagi
masyarakat. Namun, itu semua tidak cukup diatur melalui tulisan. Masyarakat
Indonesia dari kalangan berbagai usia sedari dini memerlukan bimbingan intensif
terkait penanggulangan bencana. Yan Pieter, salah satu mantan staf pengajar
ahli Kesehatan, dan Keselamatan Kerja-Sistem Manajemen (K3-SMK) dari
Universitas Negeri Jakarta mengatakan, "Bukanlah mengurangi dampak risiko
keselamatan, namun menjadikan risiko bencana itu menjadi nol, yaitu melalui
kegiatan pencegahan." Tentunya semua ini bisa berhasil melalui aksi cepat
tanggap dan darurat dari masyarakat yang sudah mengenal, terbiasa, dan telah
terlatih dalam menghadapi risiko bencana yang ada. Kita bisa menengok dan
belajar dari negara dengan tingkat kewaspadaan bencana (emergency preparedness)
cukup tinggi, misalnya Jepang dan Filipina. Di Jepang, pendidikan kebencanaan
sudah diterapkan sejak di bangku sekolah dan masuk kedalam kurikulum nasional.
Begitu pula dengan di Filipina. Hal itu tidak berbeda jauh dari kampus-kampus
di China. Pelatihan dan penyuluhan keselamatan dan darurat bencana dilakukan di
asrama setiap permulaan ajaran baru. Beijing Jiaotong University, misalnya,
selain pendidikan dan pelatihan, kampus ini juga menyediakan ruang eksibisi
tentang pendidikan kebencanaan. "Karena kita menginginkan agar mahasiswa
mengetahui pengetahuan keselamatan dasar dalam menghadapi bencana secara
mandiri," ujar Myranda selaku staf ahli asrama ketika ditanya alasan
diadakannya pendidikan kebencanaan rutin. Belajar dari negara luar, pendidikan,
pelatihan dan simulasi perlu menjadi akar utama untuk masyarakat di berbagai
daerah, sehingga masyarakat tak hanya cepat tanggap setelah terjadi, tetapi
juga telah siaga dan mampu bertindak pra dan pascabencana.
Pelatihan
Menghadapi Ancaman Bencana di Jepang
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/17034841/pentingnya-pendidikan-untuk-penanggulangan-dan-darurat-bencana
Menyikapi berbagai perkembangan internasional
tersebut, BNPB melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Penanggulangan Bencana
atau Pusdiklat PB yang merupakan unit kerja dengan tupoksi untuk melaksanakan
pendidikan, pengajaran dan pelatihan bagi ASN, masyarakat maupun dunia usaha
sebagai komponen/pelaku penanggulangan bencana telah melaksanakan berbagai edukasi
bencana dalam bentuk latihan sebelum terjadinya bencana yang diyakini menjadi
salah satu metode yang dapat meminimalisir jumlah korban jiwa. Melalui latihan diharapkan
orang dapat mengenali ancaman bencana disekitarnya, upaya mengurangi risikonya,
dan mengetahui apa saja yang dapat dilakukan dalam situasi kedaruratan sehingga
lebih banyak orang dapat terselamatan (save more lives). BNPB telah menganggarkan dana untuk penyusunan
kurikulum penanggulangan bencana yang menyasar kepada tiga pilar pelaku
penanggulangan bencana yaitu pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Penyusunan
kurikulum ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam
penanggulangan bencana serta ditindaklanjuti dengan implementasiannya melalui
pelatihan-pelatihan penanggulangan bencana. Sebagai contoh, BNPB telah menyusun
kurikulum pelatihan dasar manajemen bencana sebagai pengetahuan fundamental
terkait penanggulangan bencana yang kemudian dilanjutkan implementasinya dalam
bentuk pelatihan dasar manajemen bencana. Dalam praktiknya, Pusdiklat PB BNPB
telah bekerjasama dengan BPSDM Provinsi seluruh Indonesia yang diperkuat oleh
surat edaran Mendagri terkait penyelenggaraan pelatihan tersebut.
Meskipun demikian, mengingat keterbatasan dana,
waktu, tenaga dan jangkauan wilayah Indonesia yang luas, metode pelatihan
konvensional (tatap muka dalam kelas) yang selama ini dilakukan dianggap belum
efektif, jika dilihat dari jangkauan peserta pelatihannya (setiap pelatihan satu
angkatan hanya sekitar 30 orang dengan penyelenggaraan selama 5 hari durasi
pelatihan) sehingga perlu dilakukan pengembangan salah satunya dengan
menggunakan teknologi internet melalui diklat berbasis e-training. Siapapun,
dimanapun nantinya dapat mengakses pelatihan ini sehingga kedepannya akan
semakin banyak orang yang teredukasi bencana dan meningkat pengetahuan juga
keterampilannya terkait kebencanaan sehingga orang yang tinggal di kawasan
rawan bencana mengenali ancaman yang ada disekitarnya dan mengetahui upaya apa
saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dan pada akhirnya
dapat selamat dan mengurangi jumlah korban jiwa saat terjadinya bencana.
Merujuk pada himbauan Bapak Presiden RI Joko Widodo
di sela-sela kunjungan lapangan di daerah terdampak bencana tsunami provinsi
Banten, 25 Desember 2018 yang menyatakan bahwa kurikulum bencana harus disusun
ternyata sesuai dengan upaya yang telah dilakukan BNPB dan kementerian/lembaga
terkait penanggulangan bencana. Sebenarnya kurikulum Kebencanaan sudah
disusun sejak tahun 2009 oleh Kemdiknas
dan disosialisasikan agar menjadi muatan lokal bagi sekolah. Di tingkat
pemerintah daerah, Bupati Klaten telah mengeluarkan Peraturan Bupati no 6 Tahun
2014 tentang Panduan Pembelajaran Kebencanaan di Kabupaten Klaten. Perbub ini berlaku untuk sekolah mulai PAUD
sampai dengan SMA/sederajat. Bahkan beberapa PAUD di Klaten Sudah memiliki
taman EWS (Eling Waspada dan Siaga) yaitu sarana beramain yang sekaligus
mengenalkan kebencanaan. Selain itu Kemdiknas dan Kemenag bekerja dengan BNPB
dan BPBD juga mempunyai program sekolah
madrasah aman bencana.
Sekolah aman adalah upaya membangun
kesiapsiagaan sekolah menghadapi bencana dalam rangka menggugah kesadaran
seluruh unsur-unsur dalam Bidang pendidikan baik individu maupun kolektif di
sekolah dn Lingkungan sekolah baik itu sebelum, saat maupun setelah bencana
terjadi. Diharapkan sekolah dan madrasah untuk (i) membangun budaya siada dan
budaya aman di sekolah; (ii) meningkatkan kapasitas insitusi sekolah dan
individu dalam mewujudkan tempat belajar yang aman bagi siswa, guru, anggota
komunitas sekolah serta komunitas sekeliling sekolah; (iii) menyebarluaskan dan
mengembangkan pengetahuan kebencanaan ke masyarakat luas melalui jalur
pendidikan sekolah.
Pelatihan Sekolah Aman Bencana di Indonesia
Sumber: Buku Pendidikan Tangguh Bencana
Namun ternyata
meskipun kurikulum kebencanaan sudah tersedia, program sekolah/madasarah aman bencana,
dan program pendidikan kebencanaan sudah ada, tapi latihan secara rutin agar
menjadi budaya sehari-hari masih kurang dilakukan, serta implementasi kurikulum
kebencanaan yang terintegrasi dengan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah/masih
belum maksimal, dan hanya menyasar kepada masyarakat di daerah yang
diperkirakan rawan bencana, padahal pengetahuan menghadapi bencana harus
digalakkan kepada seluruh penduduk Indonesia dimanapun berada, agar pada saat bencana
korban dapat diminimalisir. Budaya sadar Bencana yaitu kenali ancamannya, kurangi
risiko dan selalu siap siaga perlu digalakkan bagi seluruh masyarakat Indonesia
melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas agar
masyarakat, menjadi tanggap, tangkas dan tangguh dalam menghadapi bencana.
@agbp.2020
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar apapun