31 Oktober 2020
PENGETAHUAN DASAR PENANGGULANGAN BENCANA
30 Oktober 2020
LATIHAN SIMULASI KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI BENCANA
Istilah Pelatihan (training) dan Latihan (exercise) merupakan dua hal yang berbeda. Dalam tahap pelatihan, para pemangku kepentingan yang terkait dari unsur institusi pemerintah, non pemerintah, maupun masyarakat, dibekali dengan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan sehingga mereka memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik. Selain pengetahuan, peningkatan keterampilan juga harus diberikan melalui berbagai bentuk latihan yang menggunakan simulasi dengan penekanan untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan para pemangku kepentingan yang terkait sehingga mencapai sasaran yang diharapkan. Untuk memastikan pengetahuan dan keterampilan tersebut apakah sudah sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka perlu dilakukan latihan yang bersifat menguji sebuah sistem, dimana fungsi komando, kendali dan komunikasi antar pemangku kepentingan yang terkait diperankan, serta seluruh sumberdaya yang tersedia disinergikan, sebagaimana bila situasi kedaruratan yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian, pelaksanaan pelatihan bertujuan untuk memberikan bembekalan pengetahuan, sedangkan latihan bertujuan untuk memastikan pengetahuan dan keterampilan tersebut sesuai dengan yang diharapkan.
Penyelenggaraan Latihan Kesiapsiagaan adalah suatu proses komprehensif yang diulang secara sistematis dan berkesinambungan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan maksimal serta meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar instansi/lembaga dalam sebuah sistem kesiapsiagaan terpadu. Konsep dasar penyelenggaraan latihan secara menyeluruh dapat dilihat pada Gambar berikut ini
Melalui Gambar diatas dapat dilihat bahwa seluruh latihan baru dapat dilaksanakan setelah suatu kawasan menyusun skenario bencana. Skenario bencana dapat disusun berdasarkan Identifikasi Risiko Bencana dan Rencana Kontinjensi. Skenario latihan dikembangkan berdasarkan rencana kontinjensi bencana, kondisi dimana telah terdapat rencana kontinjensi disebut dengan kondisi ideal. Pada kondisi tidak terdapat rencana kontinjensi bencana, scenario latihan dikembangkan berdasarkan indentifikasi risiko bencana. Pada kondisi ideal, salah satu hasil latihan digunakan dalam rangka perbaikan rencana kontinjensi. Sebaliknya pada kondisi tidak ada rencana kontinjensi, hasil latihan salah satunya yaitu menghasilkan rencana kontinjensi.
Untuk mempersiapkan Latihan Simulasi Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana, modul-modul berikut ini dapat dipergunakan sebagai acuan :
a. Modul 1 Konsep Dasar Pelatihan Kesiapsiagaan Bencana
b. Modul 2 Pendekatan Andragogi dan Teknik Fasilitasi
c. Modul 3 Table Top Exercise (TTX)
d. Modul 4 Command Post Exercise (CPX)
e. Modul 5 Field Training Exercise (FTX)
Semoga dapat bermanfaat untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana
@agbp.2020
29 Oktober 2020
KELUARGA SIAGA BENCANA
Indonesia terletak di kawasan Cincin Api Pasifik yang secara geografis dan klimatologi mempunyai tantangan untuk melindungi dan memperkuat masyarakat dari ancaman risiko bencana. Pergerakan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo Australia di bagian selatan, lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana disebagian besar wilayah Indonesia) dan disertai daerah aliran sungai (5.590 DAS) mengakibatkan risiko bencana geologi seperti gempabumi, tsunami, letusan gunung api (127 gunung api aktif) maupun gerakan tanah/ longsor. Dampak pemanasan global dan pengaruh perubahan iklim pada wilayah perairan laut Indonesia cenderung menimbulkan potensi terjadinya berbagai jenis bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrem, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tingginya potensi ancaman dan jumlah masyarakat yang terpapar risiko bencana menyebabkan perlunya meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat secara terus menerus sehingga masyarakat di seluruh Indonesia dapat mengetahui bagaimana harus merespon dalam menghadapi situasi kedaruratan bencana.
Berdasarkan survei pada kejadian gempabumi Hanshin-Awaji Jepang tahun 1995 menunjukkkan bahwa 34,9 % korban dapat selamat karena upaya penyelamatan diri mandiri; 31,9 % selamat dengan bantuan anggota keluarga; 28,1% selamat karena pertolongan teman/tetangga; 2,6 % selamat ditolong oleh orang yang pada saat kejadian dekat dengan korban; 1,7 % dibantu oleh tim penyelamat. Survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar korban selamat adalah karena dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya terutama keluarga, bukan dari tim penolong. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dan ketrampilan masyarakat, khususnya keluarga menjadi kunci utama keselamatan dalam menghadapi bencana.
Buku Panduan Keluarga Siaga Bencana dapat didownload di sini
Pelatihan Online Keluarga Siaga Bencana dapat diikuti di sini
@agbp.2020
MANAJEMEN LOGISTIK BANTUAN KEMANUSIAAN
Dalam konteks bencana, tentunya penting untuk memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan yang efisien dan efektif, sehingga kebutuhan jenis bantuan dan peralatan yang sesuai dan relawan dapat mencapai ke lokasi korban dengan cepat dan tepat. Untuk mengoptimalkan kinerja logistik bantuan kemanusiaan mensyaratkan bahwa semua hubungan antara pihak atau pelaku yang terlibat dalam penanggulangan bencana dikelola melalui pendekatan terpadu secara efisien dan efektif dalam mengkoordinasikan kinerja antarorganisasi, menghilangkan redundansi, dan memaksimalkan efisiensi seluruh rantai pasok darurat.
Manajemen logistik merupakan seni dan ilmu, pengelolaan arus barang, energi, informasi, dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa, dan manusia, dari sumber produksi ke pasar dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan modal. Kegiatan manufaktur dan pemasaran akan sulit dilakukan tanpa dukungan logistik. Logistik juga mencakup integrasi informasi, transportasi, inventori, pergudangan, reverse logistics, dan pengemasan barang.
Pengelolaan logistik dalam penanggulangan bencana berperan penting dalam layanan penanganan darurat bencana, khususnya dalam layanan pemenuhan kebutuhan dasar para penyintas bencana. Pengelolaan logistik bantuan kemanusiaan pada saat penanganan bencana seringkali berjalan tidak efektif dan kurang terkoordinasi sehingga tidak jarang terjadi penumpukan logistik di beberapa lokasi pengungsian. Salah satu upaya membangun pengelolaan logistik tersebut dilakukan dengan membekali para pelaku penanggulangan bencana melalui pelatihan untuk meningkatkan kapasitas yang kita yakini dapat menurunkan risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan. Sejalan dengan target penurunan Indeks Risiko Bencana pada 2019 sebesar 30 persen (%), pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat mengikuti pelatihan penanggulangan bencana secara masif yang selanjutnya dipraktikkan dalam aktivitas harian serta mandat utama organisasi.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai manajemen logistik bantuan kemanusiaan dapat dibaca di sini
@agbp.2020
Gambar : https://www.gatra.com/detail/news/366545-Antisipasi-Bencana-NTT-Kirim-Bantuan-Lagistik-Darurat
KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI BENCANA
Kegiatan kesiapsiagaan merupakan langkah penting dalam upaya PB, karena pada kenyataanya tidak semua bahaya dapat dicegah ataupun ditangani dengan aktivitas mitigasi yang komprehensif. Untuk menghindarkan kerugian lebih besar yang diakibatkan sebuah bencana, khususnya hilangnya nyawa, maka diperlukan upaya yang jelas dan terencana. Kegiatan kesiapsiagaan itu juga berfungsi sebagai rencana cadangan (kontinjensi/contingency plan) bila akhirnya sebuah ancaman bahaya benar-benar menjadi nyata. Rencana Kesiapsiagaan dibuat bukan pada saat bahaya muncul tetapi saat sebelum ancaman bencana terjadi. Rencana tersebut lebih merupakan tindakan antisipatif jika suatu saat ancaman bahaya benar-benar muncul. Rencana tersebut merefleksikan sikap kita yang siap (prepared) terhadap ancaman bahaya yang akan datang, maupun juga sikap yang siaga (ready) bila saatnya nanti ancaman bahaya menjadi kenyataan.. Dalam bahasa yang sederhana kesiapsiagaan seperti pepatah “sedia payung sebelum hujan”.
- Melakukan pengukuran awal terhadap Risiko Bencana (bahaya dan kerentanan)
- Membuat sumber data yang fokus pada bahaya potensial yang mungkin memberikan pengaruh
- Mengantisipasi kebutuhan yang muncul dan sumber daya yang tersedia
- Memperjelas tujuan dan arah aktivitas kesiapsiagaan
- Mengidentifikasi tugas-tugas maupun tanggungjawab secara lebih spesifik baik oleh masyarakat ataupun lembaga dalam situasi darurat
- Melibatkan organisasi yang ada di masyarakat (grassroots), LSM, pemerintahan lokal maupun nasional, lembaga donor yang memiliki komitmen jangka panjang di area yang rentan tersebut
- Mengukur kekuatan dari komunitas dan struktur yang tersedia
- Mencerminkan tangungjawab terhadap keahlian yang ada
- Memperjelas tugas dan tanggungjawab secara lugas dan sesuai
- Dana bantuan bencana
- Perencanaan dana bencana
- Mekanisme kordinasi peralatan yang ada
- Penyimpanan
23 Oktober 2020
LATIHAN SEBELUM BENCANA
Bencana yang terjadi di Lombok dan Palu dalam waktu
yang berdekatan belum lama ini, kembali mengingatkan kita bahwa bencana bisa
terjadi dimanapun, kapanpun dan menimpa siapa saja. Gempa beruntun yang dialami
masyarakat Lombok dan sekitarnya sejak tanggal 29 Juli 2018 maupun gempabumi
yang disusul dengan terjadinya tsunami dan likuikfaksi di Palu yang terjadi
pada tanggal 28 September 2018, membuka mata kita bahwa kesiapsiagaan itu
penting dilakukan dan perlu terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan
rawan bencana.
Distribusi
kejdian bencana per kabupaten 1815 – 2017
Sumber: http://dibi.bnpb.go.id
Kerugian akibat bencana tahun 2017
Sumber:
http://inarisk.bnpb.go.id
Disadari atau tidak, pada akhirnya, masyarakatlah yang secara
langsung merespons ketika terjadi bencana.
Dalam hal ini, kesiapsiagaan melalui pendidikan dan pelatihan menjadi bagian
daripada upaya preventif sebelum memakan korban. Hal tersebut telah disampaikan
oleh Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dalam acara World Tsunami Awareness
(2016) bahwa "Awareness ini artinya kesiapan atau kehati-hatian. Jadi yang
kita harapkan adalah memasyarakatkan persiapan apabila ada bencana. Persiapan
diri mendidik." Mencegah sebelum dan selagi bencana Mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana). Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mengelola
penanggulangan bencana dengan sebaik-baiknya yang salah satunya dengan
menetapkan Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia yang resmi
berlaku tanggal 26 April 2007. Tanggal ini kemudian dijadikan sebagai Hari
Kesiapsiagaan Bencana, dimana para penggiat bencana maupun masyarakat dapat
berpartisipasi untuk turut serta melakukan kegiatan kesiapsiagaan seperti
simulasi bencana dan sebagainya. Melalui Undang-Undang ini pula didirikan
lembaga negara setingkat kementerian yang bertugas menanggulangai bencana di
Indonesia yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dengan
didukung oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang bisa menjadi wadah kuat dalam masalah kebencanaan di
Indonesia.
Pelatihan Menghadapi Ancaman Bencana di Jepang
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/17034841/pentingnya-pendidikan-untuk-penanggulangan-dan-darurat-bencana
Sumber: Buku Pendidikan Tangguh Bencana
Namun ternyata
meskipun kurikulum kebencanaan sudah tersedia, program sekolah/madasarah aman bencana,
dan program pendidikan kebencanaan sudah ada, tapi latihan secara rutin agar
menjadi budaya sehari-hari masih kurang dilakukan, serta implementasi kurikulum
kebencanaan yang terintegrasi dengan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah/masih
belum maksimal, dan hanya menyasar kepada masyarakat di daerah yang
diperkirakan rawan bencana, padahal pengetahuan menghadapi bencana harus
digalakkan kepada seluruh penduduk Indonesia dimanapun berada, agar pada saat bencana
korban dapat diminimalisir. Budaya sadar Bencana yaitu kenali ancamannya, kurangi
risiko dan selalu siap siaga perlu digalakkan bagi seluruh masyarakat Indonesia
melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas agar
masyarakat, menjadi tanggap, tangkas dan tangguh dalam menghadapi bencana.
@agbp.2020
PEMBELAJARAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI TIGA DAERAH
Indonesia
sebagai wilayah kepulauan dengan gugusan pulau besar dan kecil memiliki kondisi
geografis dan hidrometeorologis yang sangat berbeda, unik dan menarik
dibandingkan negara–negara mana pun di dunia. Peristiwa bencana alam, di
beberapa daerah sudah menjadi hal rutin terjadi, seperti bencana banjir saat
musim hujan berlangsung. Banjir merupakan keadaan yang disebabkan air meluap
melebihi kapasitas badan sungai sehingga mengakibatkan daerah di sekitar
terendam. Berbagai faktor dapat memicu atau menyebakan banjir, seperti
intensitas curah hujan tinggi dan pengelolaan sampah yang menumpuk.
Indonesia
memiliki lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30 % di antaranya
melewati kawasan padat penduduk. Adanya faktor perubahan iklim, tata guna lahan
dan kenaikan permukaan air laut sering meningkatkan risiko kejadian banjir pada
saat musim hujan. Kejadian banjir pada umumnya terjadi di wilayah yang menerima
curah hujan tinggi, yang diperburuk dengan penggundulan hutan atau perubahan
tata guna lahan yang tidak mempertimbangkan daerah resapan air.
Banjir
seringkali melanda kota-kota di Indonesia. Setiap kota memiliki karakteristik
yang berbeda. Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri dari segi sejarah,
geografi, bahkan kebudayaan masyarakat, serta kebijakan yang berlaku. Termasuk
pengalaman dalam menangani bencana. Kota-kota memiliki penanganan dan
karakterisitik berbeda dalam penanganan bencana banjir. Setiap kota memiliki
cerita dan pengalaman berbeda dalam pengelolaan banjir.
Latar
belakang ini mendorong tim penulis untuk menyusun pembelajaran dalam penanganan
bencana banjir di tiga kota. Ketiga kota terpilih sebagai bahan pembelajaran
yaitu Jakarta, Surakarta, dan Bandung, yang memiliki karakteristik unik dan
berbeda.
Jakarta merupakan Ibu Kota yang
kerap menjadi daerah langganan banjir dengan dialiri 13 sungai. Bandung yang lahir
dan tumbuh di tepian Sungai Citarum juga menjadi daerah langganan banjir,
sedangkan Surakarta dengan Sungai Bengawan Solo pun mengalami banjir. Ketiga
kota itu memiliki karakteristik banjir berbeda. Oleh karena itu, penanganan
banjir pun memiliki perbedaan yang signifikan. Setiap BPBD daerah memiliki pola
penanganan berbeda di setiap daerah terdampak banjir sehingga hal tersebut
patut di catat sebagai pembelajaran banjir ke depan.
Pembelajaran berfokus pada setiap fase penanggulangan bencana, yaitu fase prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Pada ketiga fase tersebut membahas mengenai topik sebagai berikut (1) early warning system (EWS), (2) perencanaan dan pelaksanaan penanganan darurat, (3) kelembagaan penanganan darurat, (4) regulasi penangan darurat dan pendanaan, (5) pengerahan sumber daya penanganan darurat, dan (6) pengelolaan data dan informasi. Topik-topik ini mengacu pada sistem nasional penanggulangan bencana.
Buku pembelajaran banjir dapat didownload di sini
@agbp.2020
PEMBELAJARAN PENANGANAN DARURAT BENCANA GEMPA BUMI LOMBOK
Sebelum terjadi gempabumi, tsunami dan likuifaksi di Palu, gempabumi di Lombok menjadi gempabumi yang sulit dipahami. Kejadian yang berulang, dengan besaran naik-turun, membuat kita seolah “mati langkah” menghadapinya. Pada hari Minggu, 29 Juli 2018 gempabumi sebesar M 6,4 terjadi di Sembalun dan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain gempa susulan yang terjadi di bawah magnitude 5, beberapa gempa besar juga terjadi menyusul gempa yang pertama, diantaranya M 7.0 pada hari Minggu, 05 Agustus 2018 di Bayan, Lombok Utara; selanjutnya dua kali gempabumi susulan M 6,3 dan M 6,9 pada hari Kamis tanggal 9 Agustus 2018.
Hiruk pikuk penanganan darurat bencana pun telah usai. Proses transisi darurat ke pemulihan sedang berlangsung. Pemerintah memutuskan, tanpa hunian sementara. Atas proses penanganan darurat bencana tersebut, banyak sekali pelajaran yang dapat dapati, serta masukan penting untuk pelaksanaan penanganan darurat yang lebih baik bisa kita laksanakan. Berbagai hal tersebut terangkum dalam Buku Pembelajaran Penanganan Darurat Bencana Gempa Bumi Lombok yang disusun oleh para peneliti dari BNPB dan instansi terkait penanggulangan bencana di Indonesia.
Buku silakan didownload di sini
@agbp.2020
22 Oktober 2020
PRINSIP-PRINSIP PENANGGULANGAN BENCANA
Penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.
Penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis, yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan dalam penanggulangan bencana. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan. mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat. dan pemulihan akibat bencana.
Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman bersama tentang upaya penanggulangan bencana yang dituangkan dalam beberpa prinsip. Prinsip – Prinsip Penanggulangan
Bencana Nasional berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Cepat dan Akurat – Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2. Prioritas – Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila
terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. Koordinasi – Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan
bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
4. Keterpaduan – Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang
didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
5. Berdaya Guna – Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan.
6. Berhasil Guna – Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan
penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan
biaya yang berlebihan.
7. Transparansi - Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
8. Akuntabilitas – Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
secara etik dan hukum.
9. Kemitraan - Yang dimaksud dengan "Kemitraan" adalah kerja secara bersama dengan mengutamakan persamaan hak dan kewajiban dengan tujuan tercapainya tujuan secara bersama.
10. Pemberdayaan – Yang dimaksud dengan "Pemberdayaan" adalah upaya melibatkan seluruh pihak dalam penanggulangan bencana sehingga tidak ada pihak yang merasa ditinggalkan.
11. Nondiskriminasi – Yang dimaksud dengan
“prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana
tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama,
ras, dan aliran politik apa pun.
12. Nonproletisi – Yang dimaksud dengan
”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat
keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan
darurat bencana.
D.
Prinsip Penanggulangan Bencana Internasional
1.
SPHERE
a. Piagam Kemanusiaan
Dalam Bab Piagam Kemanusiaan SPHERE, secara ringkas
piagam ini dapat dipahami sebagai point – point berikut
:
- Komitmen lembaga-lembaga
terhadap pemenuhan standar minimum dalam melakukan respon bencana.
- Berisi persyaratan paling
mendasar bagi kelangsungan hidup dan martabat orang yang terkena dampak
bencana.
- Memastikan Akuntabilitas
upaya-upaya bantuan kemanusiaan.
Dan Piagam Kemanusiaan (Humanitarian Charter)
disusun berdasarkan 3 prinsip berikut :
- Hak untuk Kehidupan yang
bermartabat
- Hak untuk perlindungan dan
keselamatan
- Hak untuk menerima bantuan
kemanusiaan
Dimana dalam piagam ini ada penjelasan khusus
tentang prinsip-prinsip khusus dalam konteks “Konflik bersenjata”, tentang
prinsip “Pembedaan antara pemanggul senjata dan yang bukan”; dan “Prinsip tidak
mengusir paksa”.
b. Prinsip Perlindungan
Dalam suatu aksi kemanusiaan sebenarnya terdiri
dari dua pilar utama yaitu : perlindungan dan bantuan. Prinsip Perlindungan
dalam SPHERE adalah sebagai jawaban bahwa orang yang mendapat ancaman atau
bahaya dalam suatu bencana atau konflik harus tetap mendapat perlindungan.
Prinsip ini akan menjadi panduan bagi lembaga kemanusiaan bagaimana mereka
menyelenggarakan perlindungan dalam suatu aksi kemanusiaan.
Ada empat prinsip perlindungan dasar dalam suatu
aksi kemanusiaan dalam SPHERE yaitu :
- Menghindari terjadinya
bantuan kemanusiaan yang semakin menyengsarakan orang yang terkena dampak
bencana.
- Memastikan setiap orang
memiliki akses terhadap bantuan kemanusiaan yang proposional sesuai
kebutuhan mereka tanpa diskriminasi.
- Melindungi orang yang
terkena dampak bencana dari kekerasan secara fisik dan mental akibat
adanya tindak kekerasan dan pemaksaan.
- Mendampingi orang yang
terkena dampak bencana untuk menyuarakan hak – hak mereka dan memberikan
akses penyembuhan atau rehabilitasi akibat dari suatu tindak kekerasan.
Telah disepakati dalam klaster perlindungan global
bahwa tiap lembaga kemanusiaan harus memiliki focal point untuk
beberapa isu perlindungan dibawah ini yaitu :
- Perlindungan anak
- Kekerasan berbasis gender
- Perumahan, tanah dan hak
milik
- Aksi penambangan
- Peraturan tentang hukum dan
peradilan
Sebelum membahas ke standar – standar minimum, kita
harus melihat terlebih dahulu standar – standar inti dalam SPHERE. Standar ini
ibaratnya yang memayungi standar – standar lainnya dalam SPHERE. Standar –
standar ini terdiri dari enam point sebagai berikut :
- Aksi kemanusiaan yang
berpusat pada orang yang terkena dampak bencana atau konflik.
- Koordinasi dan kolaborasi
- Pengkajian
- Desain dan respon
- Kinerja, transparansi dan
pembelajaran
- Kinerja pekerja kemanusiaan.
Sama halnya dengan standar – standar minimum, maka
Core Standards juga memiliki strukstur sebagai berikut :
- Core Standards (Standar
Inti) : yaitu 6 point di atas yang merupakan ukuran
kualitatif yang harus dicapai dalam suatu aksi kemanusiaan.
- Key Actions (Aksi Kunci) :
berisi aktivitas yang disarankan untuk mencapai standar.
- Key Indicators (Indikator
Kunci) : merupakan suatu sinyal atau tanda – tanda bahwa suatu
standar telah tercapai.
- Guidance Notes (Catatan
Panduan) : menjelaskan tentang beberapa point penting
yang harus dipertimbangkan dalam mencapai Core Standards, Key
Actions maupun Key Indicators.
2. CHS (Core
Humanitarian Standard on Quality and Accountability) adalah Perangkat yang terdiri dari sembilan komitmen terhadap
komunitas dan warga terdampak krisis yang menyatakan apa yang dapat mereka
harapkan dari oganisasi dan perorangan yang menyampaikan bantuan kemanisiaan.
Setiap komitmen didukung oleh sebuah kriteria mutu yang menandai bagaimana
organisasi kemanusiaan dan staf harus bekerja untuk memenuhinya.
Sembilan komitmen dan kriteria kualitas :
- Komunitas dan
warga terdampak krisis menerima bantuan yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Kriteria kualitas: Respons
kemanusiaan harus sesuai dan relevan.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis mempunyai akses terhadap bantuan kemanusiaan yang
mereka perlukan pada waktu yang tepat.
Kriteria kualitas: Respons
kemanusiaan harus efektif dan tepat waktu.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis bebas dari dampak negatif dan akan menjadi lebih
siap, lebih tangguh dan kurang berisiko setelah menerima aksi kemanusiaan.
Kriteria kualitas: Respons
kemanusiaan harus mendorong peningkatan kapasitas lokal dan tidak menimbulkan
akibat buruk.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis mengetahui hak – hak mereka yang dijamin oleh
hukum, mempunyai akses terhadap informasi dan terlibat dalam proses
pengambilan keputusan yang berdampak pada diri mereka.
Kriteria kualitas: Respons
kemanusiaan berdasarkan pada komunikasi, partisipasi dan umpan balik.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis mempunyai akses terhadap mekanisme pengaduan yang
aman dan responsif.
Kriteria kualitas: Pengaduan
disambut baik dan ditangani.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis menerima bantuan yang terkoordinasi dan saling
melengkapi.
Kriteria kualitas: Respons
kemanusiaan harus terkoordinasi dan saling melengkapi.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis dapat mengharapkan penyaluran bantuan yang lebih
baik, karena organisasi belajar dari pengalaman dan refleksi.
Kriteria kualitas: Pekerja
kemanusiaan senantiasa belajar dan meningkatkan diri.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis menerima bantuan yang mereka butuhkan dari staf dan
relawan yang kompeten dan dikelola dengan baik.
Kriteria kualitas: staf didukung
dalam melaksanakan pekerjaannya dengan efektif dan diperlakukan dengan adil dan
setara.
- Komunitas dan
warga terdampak krisis dapat mengharapkan bahwa organisasi yang membantu
mereka mengelola sumber – sumber daya dengan efektif, efisien dan etis.
Kriteria kualitas: sumber –
sumber daya dikelola dan digunakan dengan bertanggungjawab sesuai
peruntukkannya.
18 Oktober 2020
LITERATUR MANAJEMEN RISIKO BENCANA
Bencana silih berganti terjadi di Indonesia, kita perlu waspada dan mengelola risikonya.
Informasi kurang benar (hoax) setiap hari mengisi ruang berpikir Anda, untuk itu harus ada upaya untuk memberikan informasi yang benar dan menggantikan hoax yang telah beredar.
Saya mencoba untuk memberikan edukasi kepada masyarakat Indonesia melalui Kumpulan Literatur Manajemen Risiko Bencana Indonesia yang dapat diakses di http://www.tiny.cc/BacaanRisikoBencana.
Silakan di download, dipelajari dan disebarluaskan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Setiap saat isi dari kumpulan literatur ini akan selalu diupdate menyesuaikan perkembangan bencana di Indonesia
Terimakasih
Apriyuanda G. Bayu Pradana (@agbp.2020)
Widyaiswara Ahli Muda, Pusdiklat PB BNPB
PENGKAJIAN RISIKO BENCANA
Pemanasan global sebagai pemicu perubahan iklim menjadi persoalan lain. Perubahan iklim yang secara signifikan mempengaruhi risiko bencana, baik bencana hidrometeorologis yang secara langsung mempengaruhi seluruh variabel pembentuk dan penyebab risiko, juga memiliki pengaruh signifikan pada bencana geologis, sosial maupun bencana teknologi. Perubahan iklim secara signifikan mempengaruhi tingkat kerentanan maupun kapasitas penduduk dan wilayah dalam menghadapi ancaman sebagai bagian dari pembentuk risiko.
Pengkajian Risiko Bencana merupakan piranti utama dalam melakukan berbagai upaya pengelolaan risiko yang berpotensi terjadi pada suatu wilayah. Pengkajian Risiko Bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh atas risiko bencana yang ada melalui pola hubungan antara variabel pembentuk dan penyebab risiko bencana; ancaman, kerentanan dan kapasitas. Penilaian tidak didasarkan penghitungan matematis murni, tapi menganalisis pola hubungan antar komponen-komponen dan indikator-indikator yang ada. Proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif, proses trianggulasi maupun ground check yang ketat akan menukenali berbagai upaya pengurangan risiko bencana yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan sumberdaya yang tersedia. Baik melalui upaya upaya pencegahan, mitigasi maupun kesiapsiagaan maupun menjadi bagian dalam menyiapkan pembangunan kembali paska bencana.
Undang-undang No 24/2007 mengamanatkan, upaya penanggulangan bencana menjadi kesatuan atau sinergis dalam kebijakan pembangunan. Baik dalam bentuk regulasi, perencanaan pembangunan, penganggaran maupun pemantauan dan evaluasi. Kondisi ini sejalan dengan kesepakatan global terkait pengurangan risiko bencana sebagaimana tertuang dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) 2015-2030. Aksi medasar dalam SFDRR sebagai bagian dari PRB adalah memahami risiko bencana. Kebijakan dan praktik penanggulangan bencana harus didasarkan pada pemahaman tentang risiko bencana pada semua dimensi. Peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang risiko bencana akan semakin penting ke depan karena intensitas kejadian bencana pun semakin tinggi. Kurangnya pemahaman terhadap risiko bencana akan mengakibatkan tingginya dampak akibat kejadian bencana.
Oleh karena itu, BNPB dan BPBD sebagai lembaga negara di pusat dan daerah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggara penanggulangan bencana akan secara konsisten dan aktif untuk menjalankan tugas dan fungsinya, BNPB dan BPBD berkewajiban untuk memastikan pelaksanaan teknis Kajian Risiko Bencana dilakukan berdasarkan kebijakan, peraturan teknis maupun kaidah-kaidah yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah. Tentu saja semua itu tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada dukungan dan peran aktif seluruh stakeholder yang sering disebut sebagai "Pentahelix" yaitu Pemerintah, Masyarakat, Dunia Usaha, Akademisi dan Media massa.
@agbp.2020
PERAN WIDYAISWARA DALAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI ERA NEW NORMAL
A.
Latar Belakang
Pandemi Corona Virus Disease 19 (COVID-19)
merubah tatanan sosial di seluruh masyarakat. Masifnya penyebaran Virus Corona
menuntut upaya seluruh pihak untuk mencegah penularannya, masyarakat diimbau
bahkan dipaksa untuk tinggal di rumah termasuk bersekolah dan bekerja
dianjurkan untuk dilakukan di rumah saja. Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa
kondisi kehidupan masyarakat saat pandemi COVID-19 sudah bukan normal lagi
namun new normal yang berarti bahwa perubahan perilaku untuk tetap menjalankan
aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna
mencegah terjadinya penularan COVID-19. WHO
melalui Kepala BNPB sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan COVID-19, Doni Monardo
menyampaikan beberapa indikator yang harus dipatuhi negara dalam menerapkan new
normal sebagai berikut :
1. Tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau
semaksimalnya mengurangi penularan dengan cara memberlakukan beberapa protokol seperti wajib
menggunakan masker, wajib menjaga kebersihan (cuci tangan dan hand sanitizer),
hingga pembatasan pengunjung di sejumlah tempat
2. Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi
adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan
COVID-19.
3. Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok
kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan
tes masif.
Penerapan new
normal ini mencakup seluruh bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam dunia pelatihan,
khususnya pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Peningkatan kompetensi ASN yang
mencakup knowledge, attitude dan skill akan terwujud
manakala penyelenggaraan kegiatan pelatihan
terutama dalam proses pembelajaran terlaksana
secara efektif dan efisien. Sebab melalui proses
pembelajaran inilah transfer dan transform pengetahuan yang
berimplikasi pada perubahan perilaku dilakukan. Akan tetapi dalam
suasana new normal, penyelenggaraan kegiatan pelatihan yang mengutamakan
sinergitas seluruh komponen yang ada dalam proses pembelajaran akan mendapatkan
tantangan yang luar biasa. Salah satunya adalah adaptasi peran widyaiswara
dalam kegiatan pembelajaran yang harus tetap mengutamakan kualitas pengajaran
meskipun dengan berbagai keterbatasan proses pendidikan, pengajaran dan
pelatihan (dikjartih) dalam suasana new normal yang harus mengutamakan
protokol kesehatan.
B.
Rumusan Masalah
Widyaiswara sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri PAN RB Nomor 22
tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya adalah
suatu jabatan fungsional yang mempunyai tugas pokok mendidik, mengajar, melatih
dan melakukan evaluasi dan pengembangan pelatihan pada lembaga pelatihan
pemerintah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa widyaiswara memiliki peran yang
sangat strategis dalam keberhasilan penyelenggaraan pelatihan. Widyaiswara
dituntut professional dalam mengelola kelas, menciptakan suasana pembelajaran
yang menyenangkan sehingga seorang widyaiswara dapat berperan sebagai fasilitator,
motivator, inspirator, inovator, dinamisator dan role models dalam
bidang pelatihan klasikal maupun non klasikal. Agar terjamin profesionalimenya
maka Widyaiswara harus kompeten dalam bidangnya dan harus memiliki peran sangat penting dalam
mewujudkan kualitas pembelajaran pada suatu pelatihan. Sementara
kualitas pembelajaran merupakan sebagai penentu dari kualitas Pendidikan namun
dalam kondisi new normal, kualitas pembelajaran ini akan susah untuk
diperoleh dengan maksimal. Untuk itu peran widyaiswara dalam pengembangan kompetensi
aparatur sipil negara agar semakin berkualitas dan berkompeten sangat
dibutuhkan.
Dalam era new
normal ini, dimana setiap sendi kehidupan harus dilakukan “lockdown” sebagai
upaya untuk mengurangi penyebaran Virus Corona penyebab pandemi COVID-19,
memberikan tantangan tersendiri pada peran widyaiswara dalam menyampaikan
pembelajaran kepada aparatur sipil negara. Berbagai penelitian yang
memperkirakan bahwa masa depan pemerintahan akan mengalami disrupsi di semua sektor,
menguatnya artificial intelligence, penggunaan big data dan
interaksi pelayanan online ternyata sudah terjadi saat ini serta harus
dipahami, dipelajari dan dilaksanakan oleh seluruh ASN. Ditambah dengan
tuntutan flexible work arrangement yang memaksa setiap ASN agar tidak
terlalu banyak interaksi fisik di kantor sehingga istilah Working From Home,
zoom meeting, dan lain sebagainya menjadi istilah umum dalam dunia
pemerintahan, Selain itu visi pemerintah untuk
menciptakan birokrasi berkelas dunia menjadi semakin tidak mudah dan penuh tantangan
karena ciri birokrasi Indonesia yang sering bersifat careless,
mengerjakan yang rutin, silo/ego sectoral dan tertutup membuat upaya flexible work arrangement akan
semakin menghambat pencapaian visi pemerintah tersebut. Oleh karena itu
peningkatan peran widyaiswara sangat dibutuhkan dalam menghadapi persoalan birokrasi masa depan
dalam suasana new normal saat ini
C.
Alternatif Solusi
Untuk menjawab
tuntutan perubahan dalam dunia ASN, birokrasi pemerintah serta peningkatan
kapasitas ASN dan birokrasi pemerintah di Indonesia dalam era new normal
ini, widyaiwara harus mau dan mampu untuk berubah. Sebagaimana disebutkan
diatas bahwa widyaiswara adalah guru bangsa yang dituntut
professional dalam mengelola kelas, menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan dan dapat berperan sebagai fasilitator, motivator, inspirator,
inovator, dinamisator dan role models. Untuk itu perlu berbagai
upaya peningkatan peran widyaiswara diantaranya melalui upaya adaptasi terhadap
perkembangan dunia di masa new normal saat ini.
Widyaiswara
harus adaptif terdapat tuntutan cara kerja PNS dalam era new normal
yaitu :
1. Bureaucracy
operational efficiency.
Untuk mewujudkan efisiensi dalam pelaksanaan birokrasi di Indonesia,
widyaiswara harus menjadi motor penggerak untuk merubah mindset ASN yang
sebelumnya tidak efektif bekerja, membuang waktu, boros dan kurang peduli (careless)
dengan birokrasi yang melayani masyarakat secara prima menjadi mindset ASN yang
cepat, tepat, efektif dan efisien dalam pelayan publik terutama pada saat new
normal saat ini yang menuntut masyarakat beraktivitas fisik seminimal
mungkin. Peran widyaiswara sebagai motivator, inspirator dan bahkan role
model akan efektif dalam mewujudkan tata kerja PNS ini.
2. Digital
Literacy. Perkembangan
dunia yang sangat pesat saat ini memaksa seluruh masyarakat, termasuk ASN harus
bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Revolusi Industri 4.0 yang merubah
segala hal menjadi internet of things membuat ASN harus memahami
teknologi digital, untuk itu digital literacy menjadi keniscayaan saat ini.
Widyaiswara harus bisa mengambil peran sebagai fasilitator dan inovator dalam
perkembangan teknologi ini baik dalam pelatihan maupun dalam kegiatan kerja ASN
sehingga bangsa Indonesia dapat bersaing kompetitif dengan komunitas
internasional, terutama dalam era new normal saat ini dimana teknologi
informasi menjadi tulang punggung dalam segala hal.
3. Agile
Mindset. Perubahan
mindset ASN yang saat ini masih terkesan mengerjakan
yang rutin, silo/ego sectoral dan tertutup serta bekerja santai harus
segera diubah, Dunia sedang berlari kencang untuk bergerak maju dan merubah
semuanya menjadi cepat, sederhana, efektif dan efisien terutama dalam era new
normal saat ini. ASN Indonesia yang masih bermindset lama akan tergilas dan
pada akhirnya dianggap tidak berguna. Untuk mencegah hal tersebut, widyaiswara
harus berperan sebagai motivator, inspirator, innovator dan role
model bagi ASN merubah mindset dalam bekerja menjadi lebih cepat, lincah
dan inovatif dengan tujuan
utama pelayanan prima bagi seluruh masyarakat dan kemajuan bangsa.
4. Public
service responsiveness.
ASN sebagai pelayan masyarakat di era new normal ini harus bekerja dan
bertindak secara new normal pula. ASN tidak bisa bekerja lagi seperti business
as usual apalagi berprinsip Asal Bapak Senang, namun harus merubah pola
pikir dan pola tindak sebagai ASN yang melayani masyarakat dengan responsif, cepat,
tepat dan memuaskan. Hal ini kembali pada efektivitas dan efisiensi pekerjaan
yang memang sangat dibutuhkan dalam era pandemi COVID-19 saat ini. Untuk itu
widyaiswara harus menjadi fasilitator, motivator,
inspirator, inovator, dinamisator
dan role models bagi seluruh ASN untuk mananamkan budaya pelayanan
publik ini saat proses belajar mengajar melalui ASN Corporate University,
maupun dalam dunia kerja ASN sehingga kualitas ASN akan meningkat dan bisa
bersaing dalam perubahan dunia saat ini.
5. Integrated and Flexible Working
Methods. Bekerja di kantor dalam jam
kerja yang tetap dan rutin saat ini bukan masanya bagi ASN. Pandemi COVID-19
memunculkan kondisi new normal yang membuat setiap individu untuk
membatasi diri dalam berinteraksi
fisik, sehingga bekerja di rumah adalah keniscayaan. Oleh karena itu proses
bisnis ASN akan dipaksa berubah dengan lebih mengandalkan teknologi informasi
dan efektivitas dalam bekerja dengan tidak melihat lagi rutinitas dan jam kerja
dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu widyaiswara harus menjadi fasilitator, motivator, inspirator, inovator, dinamisator dan role models dalam perubahan ini, yang menutut
widyaiswara juga harus merubah diri untuk menyesuaikan dengan kondisi saat ini.
Berbagai upaya, seperti pembelajaran online, distance learning, efektivitas
Learning Management System (LMS) dan metode-metode lain dipergunakan
untuk mempermudah proses belajar mengajar dan menyesuaikan dengan Integrated
and Flexible Working Methods ini, dengan tujuan utama merubah pola pikir dan pola kerja ASN menjadi
lebih baik.
Oleh karena itu
widyaiswara di masa new normal ini harus mampu merubah diri dan mindset
dengan selalu mengudate pemahaman serta sharing knowledge dengan membangun
jejaring sebagai sarana berbagi ilmu dan berbagi pengalaman dan permasalahan
yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi ASN dan profesi Widyaiswara
secara mandiri sehingga dapat selalu inovatif dan adaptif dalam perkembangan
dunia saat ini.
@agbp.2020