This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Entri yang Diunggulkan

PENGALAMAN INDONESIA MENANGANI PANDEMI COVID-19

  Pandemi COVID-19 sudah hampir 1 tahun terjadi dan dihadapi oleh seluruh negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Sebagaimana di negara-ne...

31 Oktober 2020

PENGETAHUAN DASAR PENANGGULANGAN BENCANA



Penanggulangan  bencana  adalah  seluruh  kegiatan  yang  meliputi aspek  perencanaan  dan  penanganan  bencana  sebelum,  saat dan  sesudah  terjadi  bencana  yang  mencakup  pencegahan, pengurangan  (mitigasi), kesiapsiagaan,  tanggap  darurat  dan pemulihan.  Tujuan  penanggulangan  bencana  untuk  melindungi masyarakat  dari  bencana  dan  melindungi dari  dampak  yang ditimbulkannya.  Penanggulangan  Bencana  menganut  prinipprinsip sebagai  berikut:  cepat  dan  tepat;  prioritas;  koordinasi  dan keterpaduan;  berdaya  guna  dan  berhasil  guna;  transparansi  dan akuntabilitas;  kemitraan;  pemberdayaan;  nondiskriminatif;  dan nonproletisi. 




Sistem  penanggulangan  bencana  adalah  sistem  pengaturan  yang menyeluruh  tentang  kelembagaan,  penyelenggaraan,  tata  kerja dan  mekanisme  serta  pendanaan  dalam  PB.  Sistem  ini ditetapkan dalam  pedoman/panduan  atau  peraturan  dan  perundangundangan.  Di  Indonesia  sistem  PB  didasarkan  pada  kelembagaan yang  ditetapkan  oleh pemerintah.  Sistem  Nasional  PB  berupaya untuk  menuju  penanggulangan  bencana  yang  tepat  di Indonesia berdasarkan  Undang-Undang  Nomor  24  Tahun  2007.  Dengan dikeluarkannya  undang-undang  tersebut  telah  terjadi  perubahan yang  signifikan  dalam  pengelolaan  bencana  dari  tingkat  nasional hingga  daerah,  diantaranya  dalam  hal  hukum,  peraturan  dan perundangan,  kelembagaan,  perencanaan,  penyelenggaraan  PB, pengelolaan sumber daya dan pendanaan.

Pengetahuan dasar terkait penanggulangan bencana di Indonesia dapat dipelajari di sini

30 Oktober 2020

LATIHAN SIMULASI KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI BENCANA

 

Istilah Pelatihan (training) dan Latihan (exercise) merupakan dua hal yang berbeda. Dalam tahap pelatihan, para pemangku kepentingan yang terkait dari unsur institusi pemerintah, non pemerintah, maupun masyarakat, dibekali dengan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan sehingga mereka memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik. Selain pengetahuan, peningkatan keterampilan juga harus diberikan melalui berbagai bentuk latihan yang menggunakan simulasi dengan penekanan untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan para pemangku kepentingan yang terkait sehingga mencapai sasaran yang diharapkan. Untuk memastikan pengetahuan dan keterampilan tersebut apakah sudah sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka perlu dilakukan latihan yang bersifat menguji sebuah sistem, dimana fungsi komando, kendali dan komunikasi antar pemangku kepentingan yang terkait diperankan, serta seluruh sumberdaya yang tersedia disinergikan, sebagaimana bila situasi kedaruratan yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian, pelaksanaan pelatihan bertujuan untuk memberikan bembekalan pengetahuan, sedangkan latihan bertujuan untuk memastikan pengetahuan dan keterampilan tersebut sesuai dengan yang diharapkan.

Penyelenggaraan Latihan Kesiapsiagaan adalah suatu proses komprehensif yang diulang secara sistematis dan berkesinambungan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan maksimal serta meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar instansi/lembaga dalam sebuah sistem kesiapsiagaan terpadu. Konsep dasar penyelenggaraan latihan secara menyeluruh dapat dilihat pada Gambar berikut ini

Melalui Gambar diatas dapat dilihat bahwa seluruh latihan baru dapat dilaksanakan setelah suatu kawasan menyusun skenario bencana. Skenario bencana dapat disusun berdasarkan Identifikasi Risiko Bencana dan Rencana Kontinjensi. Skenario latihan dikembangkan berdasarkan rencana kontinjensi bencana, kondisi dimana telah terdapat rencana kontinjensi disebut dengan kondisi ideal. Pada kondisi tidak terdapat rencana kontinjensi bencana, scenario latihan dikembangkan berdasarkan indentifikasi risiko bencana. Pada kondisi ideal, salah satu hasil latihan digunakan dalam rangka perbaikan rencana kontinjensi. Sebaliknya pada kondisi tidak ada rencana kontinjensi, hasil latihan salah satunya yaitu menghasilkan rencana kontinjensi.

Untuk mempersiapkan Latihan Simulasi Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana, modul-modul berikut ini dapat dipergunakan sebagai acuan :

a. Modul 1 Konsep Dasar Pelatihan Kesiapsiagaan Bencana

b. Modul 2 Pendekatan Andragogi dan Teknik Fasilitasi

c. Modul 3 Table Top Exercise (TTX)

d. Modul 4 Command Post Exercise (CPX)

e. Modul 5 Field Training Exercise (FTX)

Semoga dapat bermanfaat untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana


@agbp.2020



29 Oktober 2020

KELUARGA SIAGA BENCANA

 


Indonesia terletak di kawasan Cincin Api Pasifik yang secara geografis dan klimatologi mempunyai tantangan untuk melindungi dan memperkuat masyarakat dari ancaman risiko bencana. Pergerakan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo Australia di bagian selatan, lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana disebagian besar wilayah Indonesia) dan disertai daerah aliran sungai (5.590 DAS) mengakibatkan risiko bencana geologi seperti gempabumi, tsunami, letusan gunung api (127 gunung api aktif) maupun gerakan tanah/ longsor. Dampak pemanasan global dan pengaruh perubahan iklim pada wilayah perairan laut Indonesia cenderung menimbulkan potensi terjadinya berbagai jenis bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrem, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tingginya potensi ancaman dan jumlah masyarakat yang terpapar risiko bencana menyebabkan perlunya meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat secara terus menerus sehingga masyarakat di seluruh Indonesia dapat mengetahui bagaimana harus merespon dalam menghadapi situasi kedaruratan bencana.

Berdasarkan survei pada kejadian gempabumi Hanshin-Awaji Jepang tahun 1995 menunjukkkan bahwa 34,9 % korban dapat selamat karena upaya penyelamatan diri mandiri; 31,9 % selamat dengan bantuan anggota keluarga; 28,1% selamat karena pertolongan teman/tetangga; 2,6 % selamat ditolong oleh orang yang pada saat kejadian dekat dengan korban; 1,7 % dibantu oleh tim penyelamat. Survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar korban selamat adalah karena dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya terutama keluarga, bukan dari tim penolong. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dan ketrampilan masyarakat, khususnya keluarga menjadi kunci utama keselamatan dalam menghadapi bencana.

Buku Panduan Keluarga Siaga Bencana dapat didownload di sini

Pelatihan Online Keluarga Siaga Bencana dapat diikuti di sini

@agbp.2020




MANAJEMEN LOGISTIK BANTUAN KEMANUSIAAN


Pengelolaan bantuan kemanusiaan yang efektif dan efisien sangat bergentung pada manajeman logistik yang diterapkan oleh para pelaku penanggulangan bencana. Dampak bencana yang beragam dan khas sesuai karakteristik bencana memerlukan pendekatan dan strategi logistik yang berbeda pula. Logistik adalah unsur yang paling penting dalam setiap upaya bantuan kemanusiaan, dan bagaimana cara kita mengelola logistik bantuan kemanusiaan akan menentukan apakah operasi penanggulangan bencana tersebut sukses atau gagal (Van Wassenhove 2006). Namun demikian, logistik juga menjadi aktivitas yang paling mahal dari setiap bantuan kemanusiaan. Berdasarkan studi, diperkirakan bahwa biaya logistik untuk penanggulangan bencana sekitar 80% dari total biaya dalam bantuan kemanusiaan (Van Wassenhove 2006).

Dalam konteks bencana, tentunya penting untuk memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan yang efisien dan efektif, sehingga kebutuhan jenis bantuan dan peralatan yang sesuai dan relawan dapat mencapai ke lokasi korban dengan cepat dan tepat. Untuk mengoptimalkan kinerja logistik bantuan kemanusiaan mensyaratkan bahwa semua hubungan antara pihak atau pelaku yang terlibat dalam penanggulangan bencana dikelola melalui pendekatan terpadu secara efisien dan efektif dalam mengkoordinasikan kinerja antarorganisasi, menghilangkan redundansi, dan memaksimalkan efisiensi seluruh rantai pasok darurat.

Manajemen logistik merupakan seni dan ilmu, pengelolaan arus barang, energi, informasi, dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa, dan manusia, dari sumber produksi ke pasar dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan modal. Kegiatan manufaktur dan pemasaran akan sulit dilakukan tanpa dukungan logistik. Logistik juga mencakup integrasi informasi, transportasi, inventori, pergudangan, reverse logistics, dan pengemasan barang.

Pengelolaan logistik dalam penanggulangan bencana berperan penting dalam layanan penanganan darurat bencana, khususnya dalam layanan pemenuhan kebutuhan dasar para penyintas bencana. Pengelolaan logistik bantuan kemanusiaan pada saat penanganan bencana seringkali berjalan tidak efektif dan kurang terkoordinasi sehingga tidak jarang terjadi penumpukan logistik di beberapa lokasi pengungsian. Salah satu upaya membangun pengelolaan logistik tersebut dilakukan dengan membekali para pelaku penanggulangan bencana melalui pelatihan untuk meningkatkan kapasitas yang kita yakini dapat menurunkan risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan. Sejalan dengan target penurunan Indeks Risiko Bencana pada 2019 sebesar 30 persen (%), pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat mengikuti pelatihan penanggulangan bencana secara masif yang selanjutnya dipraktikkan dalam aktivitas harian serta mandat utama organisasi. 

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai manajemen logistik bantuan kemanusiaan dapat dibaca di sini

@agbp.2020


Gambar : https://www.gatra.com/detail/news/366545-Antisipasi-Bencana-NTT-Kirim-Bantuan-Lagistik-Darurat

KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI BENCANA


Kegiatan kesiapsiagaan merupakan langkah penting dalam upaya PB, karena pada kenyataanya tidak semua bahaya dapat dicegah ataupun ditangani dengan aktivitas mitigasi yang komprehensif. Untuk menghindarkan kerugian lebih besar yang diakibatkan sebuah bencana, khususnya hilangnya nyawa, maka diperlukan upaya yang jelas dan terencana. Kegiatan kesiapsiagaan itu juga berfungsi sebagai rencana cadangan (kontinjensi/contingency plan) bila akhirnya sebuah ancaman bahaya benar-benar menjadi nyata. Rencana Kesiapsiagaan dibuat bukan pada saat bahaya muncul tetapi saat sebelum ancaman bencana terjadi. Rencana tersebut lebih merupakan tindakan antisipatif jika suatu saat ancaman bahaya benar-benar muncul. Rencana tersebut merefleksikan sikap kita yang siap (prepared) terhadap ancaman bahaya yang akan datang, maupun juga sikap yang siaga (ready) bila saatnya nanti ancaman bahaya menjadi kenyataan.. Dalam bahasa yang sederhana kesiapsiagaan seperti pepatah “sedia payung sebelum hujan”.


Macam-Macam Aktivitas Kesiapsiagaan (9 Aspek Aktivitas)
Secara keseluruhan, Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dapat dikategorikan dalam beberapa aspek berupa sembilan aktivitas sebagai berikut (disertai contoh dengan ilustrasi anak sekolah) :

1. Pengukuran Awal
(Contohnya : anak mengenali kemampuan dan kesulitan belajarnya, waktu yang tepat untuk belajar, cara belajar yang efektif) proses yang dinamis antara masyarakat dan lembaga yang ada untuk :
  • Melakukan pengukuran awal terhadap Risiko Bencana (bahaya dan kerentanan)
  • Membuat sumber data yang fokus pada bahaya potensial yang mungkin memberikan pengaruh
  • Mengantisipasi kebutuhan yang muncul dan sumber daya yang tersedia

2. Perencanaan
(Contohnya : anak memiliki rencana dan strategi untuk belajar) Merupakan proses untuk :
  • Memperjelas tujuan dan arah aktivitas kesiapsiagaan
  • Mengidentifikasi tugas-tugas maupun tanggungjawab secara lebih spesifik baik oleh masyarakat ataupun lembaga dalam situasi darurat
  • Melibatkan organisasi yang ada di masyarakat (grassroots), LSM, pemerintahan lokal maupun nasional, lembaga donor yang memiliki komitmen jangka panjang di area yang rentan tersebut
3. Rencana Institusional
(Contohnya : anak melakukan belajar kelompok, cari sumber belajar lain, buat waktu belajar dan berjanji sama orang tua untuk menepatinya) koordinasi baik secara vertikal maupun horizontal antara masyarakat dan lembaga yang akan menghindarkan pembentukan struktur kelembagaan yang baru dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana, melainkan saling bekerjasama dalam mengembangkan jaringan dan sistem.
  • Mengukur kekuatan dari komunitas dan struktur yang tersedia
  • Mencerminkan tangungjawab terhadap keahlian yang ada
  • Memperjelas tugas dan tanggungjawab secara lugas dan sesuai
4. Sistem Informasi
(Contohnya : selalu berhubungan dan tukar informasi dengan teman serta menguasai semua media untuk komunikasi). Mengkoordinasikan peralatan yang dapat mengumpulkan sekaligus menyebarkan
peringatan awal mengenai bencana dan hasil pengukuran terhadap kerentanan yang ada baik di dalam lembaga maupun antar organisasi yang terlibat kepada masyarakat luas.

5. Pusat Sumber Daya
(Contohnya : mempersiapkan bahan-bahan belajar, buku-buku dan catatan-catatan sekolah juga kemampuan mengakses sumber belajar seperti internet atau bertanya pada orang yang tahu misalnya saudara, orang tua atau guru).  Melakukan antisipasi terhadap bantuan dan pemulihan yang dibutuhkan secara terbuka dan menggunakan pengaturan yang spesifik. Perjanjian atau pencatatan tertulis sebaiknya dilakukan untuk memastikan barang dan jasa yang dibutuhkan memang tersedia, termasuk :
  • Dana bantuan bencana
  • Perencanaan dana bencana
  • Mekanisme kordinasi peralatan yang ada
  • Penyimpanan
6. Sistem Peringatan
(Contohnya: membuat jadwal yang jelas untuk belajar sesuai jadwal ujian dan punya mekanisme yang jelas dengan teman teman untuk saling mengingatkan) Harus dikembangkan sebuah cara yang efektif dalam menyampaikan peringatan kepada masyarakat luas meskipun tidak tersedia sistem komunikasi yang memadai. Sebagai pelengkap, masyarakat internasional juga harus diberikan peringatan mengenai bahaya yang akan terjadi yang memungkinkan masuknya bantuan secara internasional.

7. Mekanisme Respon
(Contohnya : mengenali respon terhadap tekanan akan ujian dan bagaimana mengatasinya, misalnya membuat manajemen stress yang baik). Respon yang akan muncul terhadap terjadinya bencana akan sangat banyak dan datang dari daerah yang luas cakupannya sehingga harus dipertimbangkan serta disesuaikan dengan rencana kesiapsiagaan. Perlu juga dikomunikasikan kepada masyarakat yang akan terlibat dalam koordinasi dan berpartisipasi pada saat muncul bahaya.

8. Pelatihan Dan Pendidikan Terhadap Masyarakat
(Contohnya : mengikuti les tambahan atau belajar tambahan dan bergabung dengan lembaga bimbingan belajar). Dari berbagai jenis program pengetahuan mengenai bencana, mereka yang terkena ancaman bencana seharusnya mempelajari dan mengetahui hal-hal apa saja yang diharapkan dan apa yang harus dilakukan pada saat bencana tiba. Sebaiknya fasilitator program pelatihan dan pendidikan sistem peringatan ini juga mempelajari kebiasaan serta permasalahan yang ada di masyarakat setempat serta kemungkinan munculnya perbedaan/pertentangan yang terjadi dalam penerapan rencana.

9. Praktek
(Contohnya: selalu berlatih dengan mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas tugas yang diberikan oleh guru/dosen). Kegiatan mempraktikkan hal-hal yang sudah dipersiapkan dalam rencana kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dibutuhkan untuk menekankan kembali instruksi-instruksi yang tercakup dalam program, mengidentifikasi kesenjangan yang mungkin muncul dalam rencana kesiapsiagaan tersebut. Selain itu, agar didapatkan informasi tambahan yang berhubungan dengan perbaikan rencana tersebut.

@agbp.2020

23 Oktober 2020

LATIHAN SEBELUM BENCANA



Bencana yang terjadi di Lombok dan Palu dalam waktu yang berdekatan belum lama ini, kembali mengingatkan kita bahwa bencana bisa terjadi dimanapun, kapanpun dan menimpa siapa saja. Gempa beruntun yang dialami masyarakat Lombok dan sekitarnya sejak tanggal 29 Juli 2018 maupun gempabumi yang disusul dengan terjadinya tsunami dan likuikfaksi di Palu yang terjadi pada tanggal 28 September 2018, membuka mata kita bahwa kesiapsiagaan itu penting dilakukan dan perlu terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana.

 Video yang viral di media sosial saat terjadinya tsunami sesaat setelah terjadinya gempabumi di Palu menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui untuk segera berlindung menuju tempat yang tinggi apabila terjadi gempa besar dan posisi kita berada dekat dengan pantai. Padahal, siapa yang tidak mengetahui peristiwa tsunami yang terjadi di Aceh 26 Desember 2004 yang memakan jumlah korban ratusan ribu jiwa tersebut, dimana banyak orang yang tanpa sadar “malah” mendekati bibir pantai untuk memunguti ikan-ikan yang banyak terdampar karena air laut surut sehingga akhirnya tergulung ombak tsunami dan menjadi korban. Dari peristiwa tersebut kita belajar bahwa masyarakat yang tinggal di pinggir pantai perlu segera berlindung ke tempat/daratan tinggi sesaat setelah terjadinya gempa. Jangan abai, karena sepersekian menit dari waktu tersebut bisa menyelamatkan jiwa kita, keluarga dan orang-orang di sekitar kita.

 Data BNPB mencatat, sepanjang Tahun 2017 terjadi 2.372 kejadian bencana, dari kejadian tersebut 377 jiwa meninggal, 47.963 rumah rusak, 1.276 fasilitas pendidikan rusak, 114 fasilitas kesehatan rusak, 699 fasilitas peribadatan rusak, dan total 3,49 juta jiwa terdampak dan mengungsi akibat kejadian bencana tersebut. Data Tahun 2018 belum dirilis tetapi bisa dipastikan jumlah korban jiwa, fasilitas umum dan sosial, serta jumlah masyarakat terdampak dan mengungsi akibat kejadian bencana lebih besar dari yang terjadi di tahun 2017.

 

Distribusi kejdian bencana per kabupaten 1815 – 2017

Sumber: http://dibi.bnpb.go.id

 

Kerugian akibat bencana tahun 2017

Sumber: http://inarisk.bnpb.go.id

 

Disadari atau tidak, pada akhirnya, masyarakatlah yang secara langsung merespons ketika terjadi bencana. Dalam hal ini, kesiapsiagaan melalui pendidikan dan pelatihan menjadi bagian daripada upaya preventif sebelum memakan korban. Hal tersebut telah disampaikan oleh Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dalam acara World Tsunami Awareness (2016) bahwa "Awareness ini artinya kesiapan atau kehati-hatian. Jadi yang kita harapkan adalah memasyarakatkan persiapan apabila ada bencana. Persiapan diri mendidik." Mencegah sebelum dan selagi bencana Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mengelola penanggulangan bencana dengan sebaik-baiknya yang salah satunya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia yang resmi berlaku tanggal 26 April 2007. Tanggal ini kemudian dijadikan sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana, dimana para penggiat bencana maupun masyarakat dapat berpartisipasi untuk turut serta melakukan kegiatan kesiapsiagaan seperti simulasi bencana dan sebagainya. Melalui Undang-Undang ini pula didirikan lembaga negara setingkat kementerian yang bertugas menanggulangai bencana di Indonesia yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dengan didukung oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bisa menjadi wadah kuat dalam masalah kebencanaan di Indonesia.  

 BNPB pada awal terbentuknya sebenarnya telah mengeluarkan buku saku yang melingkupi prosedur kedaruratan seperti gempa bumi, tsunami, gunung api, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gelombang pasang, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, kecelakaan transportasi, dan lainnya. Buku ini telah secara lengkap memaparkan prosedur menghadapi bencana bagi masyarakat. Namun, itu semua tidak cukup diatur melalui tulisan. Masyarakat Indonesia dari kalangan berbagai usia sedari dini memerlukan bimbingan intensif terkait penanggulangan bencana. Yan Pieter, salah satu mantan staf pengajar ahli Kesehatan, dan Keselamatan Kerja-Sistem Manajemen (K3-SMK) dari Universitas Negeri Jakarta mengatakan, "Bukanlah mengurangi dampak risiko keselamatan, namun menjadikan risiko bencana itu menjadi nol, yaitu melalui kegiatan pencegahan." Tentunya semua ini bisa berhasil melalui aksi cepat tanggap dan darurat dari masyarakat yang sudah mengenal, terbiasa, dan telah terlatih dalam menghadapi risiko bencana yang ada. Kita bisa menengok dan belajar dari negara dengan tingkat kewaspadaan bencana (emergency preparedness) cukup tinggi, misalnya Jepang dan Filipina. Di Jepang, pendidikan kebencanaan sudah diterapkan sejak di bangku sekolah dan masuk kedalam kurikulum nasional. Begitu pula dengan di Filipina. Hal itu tidak berbeda jauh dari kampus-kampus di China. Pelatihan dan penyuluhan keselamatan dan darurat bencana dilakukan di asrama setiap permulaan ajaran baru. Beijing Jiaotong University, misalnya, selain pendidikan dan pelatihan, kampus ini juga menyediakan ruang eksibisi tentang pendidikan kebencanaan. "Karena kita menginginkan agar mahasiswa mengetahui pengetahuan keselamatan dasar dalam menghadapi bencana secara mandiri," ujar Myranda selaku staf ahli asrama ketika ditanya alasan diadakannya pendidikan kebencanaan rutin. Belajar dari negara luar, pendidikan, pelatihan dan simulasi perlu menjadi akar utama untuk masyarakat di berbagai daerah, sehingga masyarakat tak hanya cepat tanggap setelah terjadi, tetapi juga telah siaga dan mampu bertindak pra dan pascabencana.

 


Pelatihan Menghadapi Ancaman Bencana di Jepang

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/17034841/pentingnya-pendidikan-untuk-penanggulangan-dan-darurat-bencana

 

 Menyikapi berbagai perkembangan internasional tersebut, BNPB melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Penanggulangan Bencana atau Pusdiklat PB yang merupakan unit kerja dengan tupoksi untuk melaksanakan pendidikan, pengajaran dan pelatihan bagi ASN, masyarakat maupun dunia usaha sebagai komponen/pelaku penanggulangan bencana telah melaksanakan berbagai edukasi bencana dalam bentuk latihan sebelum terjadinya bencana yang diyakini menjadi salah satu metode yang dapat meminimalisir jumlah korban jiwa. Melalui latihan diharapkan orang dapat mengenali ancaman bencana disekitarnya, upaya mengurangi risikonya, dan mengetahui apa saja yang dapat dilakukan dalam situasi kedaruratan sehingga lebih banyak orang dapat terselamatan (save more lives).  BNPB telah menganggarkan dana untuk penyusunan kurikulum penanggulangan bencana yang menyasar kepada tiga pilar pelaku penanggulangan bencana yaitu pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Penyusunan kurikulum ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam penanggulangan bencana serta ditindaklanjuti dengan implementasiannya melalui pelatihan-pelatihan penanggulangan bencana. Sebagai contoh, BNPB telah menyusun kurikulum pelatihan dasar manajemen bencana sebagai pengetahuan fundamental terkait penanggulangan bencana yang kemudian dilanjutkan implementasinya dalam bentuk pelatihan dasar manajemen bencana. Dalam praktiknya, Pusdiklat PB BNPB telah bekerjasama dengan BPSDM Provinsi seluruh Indonesia yang diperkuat oleh surat edaran Mendagri terkait penyelenggaraan pelatihan tersebut.

 Meskipun demikian, mengingat keterbatasan dana, waktu, tenaga dan jangkauan wilayah Indonesia yang luas, metode pelatihan konvensional (tatap muka dalam kelas) yang selama ini dilakukan dianggap belum efektif, jika dilihat dari jangkauan peserta pelatihannya (setiap pelatihan satu angkatan hanya sekitar 30 orang dengan penyelenggaraan selama 5 hari durasi pelatihan) sehingga perlu dilakukan pengembangan salah satunya dengan menggunakan teknologi internet melalui diklat berbasis e-training. Siapapun, dimanapun nantinya dapat mengakses pelatihan ini sehingga kedepannya akan semakin banyak orang yang teredukasi bencana dan meningkat pengetahuan juga keterampilannya terkait kebencanaan sehingga orang yang tinggal di kawasan rawan bencana mengenali ancaman yang ada disekitarnya dan mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dan pada akhirnya dapat selamat dan mengurangi jumlah korban jiwa saat terjadinya bencana.

 Merujuk pada himbauan Bapak Presiden RI Joko Widodo di sela-sela kunjungan lapangan di daerah terdampak bencana tsunami provinsi Banten, 25 Desember 2018 yang menyatakan bahwa kurikulum bencana harus disusun ternyata sesuai dengan upaya yang telah dilakukan BNPB dan kementerian/lembaga terkait penanggulangan bencana. Sebenarnya kurikulum Kebencanaan sudah disusun  sejak tahun 2009 oleh Kemdiknas dan disosialisasikan agar menjadi muatan lokal bagi sekolah. Di tingkat pemerintah daerah, Bupati Klaten telah mengeluarkan Peraturan Bupati no 6 Tahun 2014 tentang Panduan Pembelajaran Kebencanaan di Kabupaten Klaten.  Perbub ini berlaku untuk sekolah mulai PAUD sampai dengan SMA/sederajat. Bahkan beberapa PAUD di Klaten Sudah memiliki taman EWS (Eling Waspada dan Siaga) yaitu sarana beramain yang sekaligus mengenalkan kebencanaan. Selain itu Kemdiknas dan Kemenag bekerja dengan BNPB dan BPBD juga mempunyai program sekolah  madrasah aman bencana.  Sekolah  aman adalah upaya membangun kesiapsiagaan sekolah menghadapi bencana dalam rangka menggugah kesadaran seluruh unsur-unsur dalam Bidang pendidikan baik individu maupun kolektif di sekolah dn Lingkungan sekolah baik itu sebelum, saat maupun setelah bencana terjadi. Diharapkan sekolah dan madrasah untuk (i) membangun budaya siada dan budaya aman di sekolah; (ii) meningkatkan kapasitas insitusi sekolah dan individu dalam mewujudkan tempat belajar yang aman bagi siswa, guru, anggota komunitas sekolah serta komunitas sekeliling sekolah; (iii) menyebarluaskan dan mengembangkan pengetahuan kebencanaan ke masyarakat luas melalui jalur pendidikan sekolah.

 


 Pelatihan Sekolah Aman Bencana di Indonesia

Sumber: Buku Pendidikan Tangguh Bencana

 

Namun ternyata meskipun kurikulum kebencanaan sudah tersedia, program sekolah/madasarah aman bencana, dan program pendidikan kebencanaan sudah ada, tapi latihan secara rutin agar menjadi budaya sehari-hari masih kurang dilakukan, serta implementasi kurikulum kebencanaan yang terintegrasi dengan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah/masih belum maksimal, dan hanya menyasar kepada masyarakat di daerah yang diperkirakan rawan bencana, padahal pengetahuan menghadapi bencana harus digalakkan kepada seluruh penduduk Indonesia dimanapun berada, agar pada saat bencana korban dapat diminimalisir. Budaya sadar Bencana yaitu kenali ancamannya, kurangi risiko dan selalu siap siaga perlu digalakkan bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas agar masyarakat, menjadi tanggap, tangkas dan tangguh dalam menghadapi bencana.

@agbp.2020

PEMBELAJARAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI TIGA DAERAH

Indonesia sebagai wilayah kepulauan dengan gugusan pulau besar dan kecil memiliki kondisi geografis dan hidrometeorologis yang sangat berbeda, unik dan menarik dibandingkan negara–negara mana pun di dunia. Peristiwa bencana alam, di beberapa daerah sudah menjadi hal rutin terjadi, seperti bencana banjir saat musim hujan berlangsung. Banjir merupakan keadaan yang disebabkan air meluap melebihi kapasitas badan sungai sehingga mengakibatkan daerah di sekitar terendam. Berbagai faktor dapat memicu atau menyebakan banjir, seperti intensitas curah hujan tinggi dan pengelolaan sampah yang menumpuk.

Indonesia memiliki lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30 % di antaranya melewati kawasan padat penduduk. Adanya faktor perubahan iklim, tata guna lahan dan kenaikan permukaan air laut sering meningkatkan risiko kejadian banjir pada saat musim hujan. Kejadian banjir pada umumnya terjadi di wilayah yang menerima curah hujan tinggi, yang diperburuk dengan penggundulan hutan atau perubahan tata guna lahan yang tidak mempertimbangkan daerah resapan air.

Banjir seringkali melanda kota-kota di Indonesia. Setiap kota memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri dari segi sejarah, geografi, bahkan kebudayaan masyarakat, serta kebijakan yang berlaku. Termasuk pengalaman dalam menangani bencana. Kota-kota memiliki penanganan dan karakterisitik berbeda dalam penanganan bencana banjir. Setiap kota memiliki cerita dan pengalaman berbeda dalam pengelolaan banjir.

Latar belakang ini mendorong tim penulis untuk menyusun pembelajaran dalam penanganan bencana banjir di tiga kota. Ketiga kota terpilih sebagai bahan pembelajaran yaitu Jakarta, Surakarta, dan Bandung, yang memiliki karakteristik unik dan berbeda.

Jakarta merupakan Ibu Kota yang kerap menjadi daerah langganan banjir dengan dialiri 13 sungai. Bandung yang lahir dan tumbuh di tepian Sungai Citarum juga menjadi daerah langganan banjir, sedangkan Surakarta dengan Sungai Bengawan Solo pun mengalami banjir. Ketiga kota itu memiliki karakteristik banjir berbeda. Oleh karena itu, penanganan banjir pun memiliki perbedaan yang signifikan. Setiap BPBD daerah memiliki pola penanganan berbeda di setiap daerah terdampak banjir sehingga hal tersebut patut di catat sebagai pembelajaran banjir ke depan.

Pembelajaran berfokus pada setiap fase penanggulangan bencana, yaitu fase prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Pada ketiga fase tersebut membahas mengenai topik sebagai berikut (1) early warning system (EWS), (2) perencanaan dan pelaksanaan penanganan darurat, (3) kelembagaan penanganan darurat, (4) regulasi penangan darurat dan pendanaan, (5) pengerahan sumber daya penanganan darurat, dan (6) pengelolaan data dan informasi. Topik-topik ini mengacu pada sistem nasional penanggulangan bencana.

Buku pembelajaran banjir dapat didownload di sini

@agbp.2020


PEMBELAJARAN PENANGANAN DARURAT BENCANA GEMPA BUMI LOMBOK

 

Sebelum terjadi gempabumi, tsunami dan likuifaksi di Palu, gempabumi di Lombok menjadi gempabumi yang sulit dipahami. Kejadian yang berulang, dengan besaran naik-turun, membuat kita seolah “mati langkah” menghadapinya. Pada hari Minggu, 29 Juli 2018 gempabumi sebesar M 6,4 terjadi di Sembalun dan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain gempa susulan yang terjadi di bawah magnitude 5, beberapa gempa besar juga terjadi menyusul gempa yang pertama, diantaranya M 7.0 pada hari Minggu, 05 Agustus 2018 di Bayan, Lombok Utara; selanjutnya dua kali gempabumi susulan M 6,3 dan M 6,9 pada hari Kamis tanggal 9 Agustus 2018.

Hiruk pikuk penanganan darurat bencana pun telah usai. Proses transisi darurat ke pemulihan sedang berlangsung. Pemerintah memutuskan, tanpa hunian sementara. Atas proses penanganan darurat bencana tersebut, banyak sekali pelajaran yang dapat dapati, serta masukan penting untuk pelaksanaan penanganan darurat yang lebih baik bisa kita laksanakan. Berbagai hal tersebut terangkum dalam Buku Pembelajaran Penanganan Darurat Bencana Gempa Bumi Lombok yang disusun oleh para peneliti dari BNPB dan instansi terkait penanggulangan bencana di Indonesia.

Buku silakan didownload di sini


@agbp.2020

22 Oktober 2020

PRINSIP-PRINSIP PENANGGULANGAN BENCANA


Penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.

Penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis, yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan dalam penanggulangan bencana. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi  yang  harus  bekerjasama  untuk melakukan pencegahan. mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat. dan pemulihan akibat bencana.

Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman bersama tentang upaya penanggulangan bencana yang dituangkan dalam beberpa prinsip. Prinsip – Prinsip Penanggulangan Bencana Nasional berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1. Cepat dan Akurat – Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.

2. Prioritas – Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.

3. Koordinasi – Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.

4. Keterpaduan – Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.

5. Berdaya Guna – Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi  kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

6. Berhasil Guna – Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,  khususnya dalam mengatasi  kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

7. Transparansi - Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

8. Akuntabilitas – Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

9. Kemitraan Yang dimaksud dengan "Kemitraan" adalah kerja secara bersama dengan mengutamakan persamaan hak dan kewajiban dengan tujuan tercapainya tujuan secara bersama.

10. Pemberdayaan – Yang dimaksud dengan "Pemberdayaan" adalah upaya melibatkan seluruh pihak dalam penanggulangan bencana sehingga tidak ada pihak yang merasa ditinggalkan.

11. Nondiskriminasi – Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.

12. Nonproletisi – Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

 

D. Prinsip Penanggulangan Bencana Internasional

1. SPHERE

a. Piagam Kemanusiaan

Dalam Bab Piagam Kemanusiaan SPHERE, secara ringkas piagam ini dapat dipahami sebagai point – point berikut  :

  1. Komitmen lembaga-lembaga terhadap pemenuhan standar minimum dalam melakukan respon bencana.
  2. Berisi persyaratan paling mendasar bagi kelangsungan hidup dan martabat orang yang terkena dampak bencana.
  3. Memastikan Akuntabilitas upaya-upaya bantuan kemanusiaan.

Dan Piagam Kemanusiaan (Humanitarian Charter) disusun berdasarkan 3 prinsip berikut :

  1. Hak untuk Kehidupan yang bermartabat
  2. Hak untuk perlindungan dan keselamatan
  3. Hak untuk menerima bantuan kemanusiaan

Dimana dalam piagam ini ada  penjelasan khusus tentang prinsip-prinsip khusus dalam konteks “Konflik bersenjata”, tentang prinsip “Pembedaan antara pemanggul senjata dan yang bukan”; dan “Prinsip tidak mengusir paksa”.

 b. Prinsip Perlindungan

Dalam suatu aksi kemanusiaan sebenarnya terdiri dari dua pilar utama yaitu : perlindungan dan bantuan. Prinsip Perlindungan dalam SPHERE adalah sebagai jawaban bahwa orang yang mendapat ancaman atau bahaya dalam suatu bencana atau konflik harus tetap mendapat perlindungan. Prinsip ini akan menjadi panduan bagi lembaga kemanusiaan bagaimana mereka menyelenggarakan perlindungan dalam suatu aksi kemanusiaan.

Ada empat prinsip perlindungan dasar dalam suatu aksi kemanusiaan dalam SPHERE yaitu :

  1. Menghindari terjadinya bantuan kemanusiaan yang semakin menyengsarakan orang yang terkena dampak bencana.
  2. Memastikan setiap orang memiliki akses terhadap bantuan kemanusiaan yang proposional sesuai kebutuhan mereka tanpa diskriminasi.
  3. Melindungi orang yang terkena dampak bencana dari kekerasan secara fisik dan mental akibat adanya tindak kekerasan dan pemaksaan.
  4. Mendampingi  orang yang terkena dampak bencana untuk menyuarakan hak – hak mereka dan memberikan akses penyembuhan atau rehabilitasi akibat dari suatu tindak kekerasan.

Telah disepakati dalam klaster perlindungan global bahwa tiap lembaga kemanusiaan harus memiliki focal point untuk beberapa isu perlindungan dibawah ini  yaitu :

  • Perlindungan anak
  • Kekerasan berbasis gender
  • Perumahan, tanah dan hak milik
  • Aksi penambangan
  • Peraturan tentang hukum dan peradilan

 c. Standar – Standar Inti (Core Standards)

Sebelum membahas ke standar – standar minimum, kita harus melihat terlebih dahulu standar – standar inti dalam SPHERE. Standar ini ibaratnya yang memayungi standar – standar lainnya dalam SPHERE. Standar – standar ini terdiri dari enam point sebagai berikut :

  1. Aksi kemanusiaan yang berpusat pada orang yang terkena dampak bencana atau konflik.
  2. Koordinasi dan kolaborasi
  3. Pengkajian
  4. Desain dan respon
  5. Kinerja, transparansi dan pembelajaran
  6. Kinerja pekerja kemanusiaan.

Sama halnya dengan standar – standar minimum, maka Core Standards juga memiliki strukstur sebagai berikut :

  • Core Standards (Standar Inti) : yaitu 6 point di atas yang merupakan ukuran kualitatif yang harus dicapai dalam suatu aksi kemanusiaan.
  • Key Actions (Aksi Kunci) : berisi aktivitas yang disarankan untuk mencapai standar.
  • Key Indicators (Indikator Kunci) : merupakan suatu sinyal atau tanda –  tanda bahwa suatu standar telah tercapai.
  • Guidance Notes (Catatan Panduan) : menjelaskan tentang beberapa point penting yang harus dipertimbangkan dalam mencapai Core Standards, Key Actions maupun Key Indicators.

 

2. CHS (Core Humanitarian Standard on Quality and Accountability) adalah Perangkat yang terdiri dari sembilan komitmen terhadap komunitas dan warga terdampak krisis yang menyatakan apa yang dapat mereka harapkan dari oganisasi dan perorangan yang menyampaikan bantuan kemanisiaan. Setiap komitmen didukung oleh sebuah kriteria mutu yang menandai bagaimana organisasi kemanusiaan dan staf harus bekerja untuk memenuhinya.

Sembilan komitmen dan kriteria kualitas :

  • Komunitas dan warga terdampak krisis menerima bantuan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Kriteria kualitas: Respons kemanusiaan harus sesuai dan relevan.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis mempunyai akses terhadap bantuan kemanusiaan yang mereka perlukan pada waktu yang tepat.

Kriteria kualitas: Respons kemanusiaan harus efektif dan tepat waktu.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis bebas dari dampak negatif dan akan menjadi lebih siap, lebih tangguh dan kurang berisiko setelah menerima aksi kemanusiaan.

Kriteria kualitas: Respons kemanusiaan harus mendorong peningkatan kapasitas lokal dan tidak menimbulkan akibat buruk.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis mengetahui hak – hak mereka yang dijamin oleh hukum, mempunyai akses terhadap informasi dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada diri mereka.

Kriteria kualitas: Respons kemanusiaan berdasarkan pada komunikasi, partisipasi dan umpan balik.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis mempunyai akses terhadap mekanisme pengaduan yang aman dan responsif.

Kriteria kualitas: Pengaduan disambut baik dan ditangani.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis menerima bantuan yang terkoordinasi dan saling melengkapi.

Kriteria kualitas: Respons kemanusiaan harus terkoordinasi dan saling melengkapi.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis dapat mengharapkan penyaluran bantuan yang lebih baik, karena organisasi belajar dari pengalaman dan refleksi.

Kriteria kualitas: Pekerja kemanusiaan senantiasa belajar dan meningkatkan diri.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis menerima bantuan yang mereka butuhkan dari staf dan relawan yang kompeten dan dikelola dengan baik.

Kriteria kualitas: staf didukung dalam melaksanakan pekerjaannya dengan efektif dan diperlakukan dengan adil dan setara.

  • Komunitas dan warga terdampak krisis dapat mengharapkan bahwa organisasi yang membantu mereka mengelola sumber – sumber daya dengan efektif, efisien dan etis.

Kriteria kualitas: sumber – sumber daya dikelola dan digunakan dengan bertanggungjawab sesuai peruntukkannya.

@agbp.2020

18 Oktober 2020

LITERATUR MANAJEMEN RISIKO BENCANA

Bencana silih berganti terjadi di Indonesia, kita perlu waspada dan mengelola risikonya.

Informasi kurang benar (hoax) setiap hari mengisi ruang berpikir Anda, untuk itu harus ada upaya untuk memberikan informasi yang benar dan menggantikan hoax yang telah beredar.

Saya mencoba untuk memberikan edukasi kepada masyarakat Indonesia melalui Kumpulan Literatur Manajemen Risiko Bencana Indonesia yang dapat diakses di http://www.tiny.cc/BacaanRisikoBencana.

Silakan di download, dipelajari dan disebarluaskan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Setiap saat isi dari kumpulan literatur ini akan selalu diupdate menyesuaikan perkembangan bencana di Indonesia


Terimakasih

Apriyuanda G. Bayu Pradana (@agbp.2020)

Widyaiswara Ahli Muda, Pusdiklat PB BNPB


Link Literatur Manajemen Risiko Bencana

PENGKAJIAN RISIKO BENCANA



        Indonesia, secara alamiah sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan rawan bencana. secara geografis, wilayah Indonesia diapit oleh 3 lempeng aktif bumi. Indonesia juga merupakan bagian jalur cicin api pasifik (pacific ring of fire). Kondisi memberikan konsekwensi sebagian wilayah Indonesia berisiko terhadap gempa bumi, tsunami, longsor dan letusan gunung api. Wilayah Indonesia yang terletak digaris katulistiwa dan berupa kepulauan menghadirkan ancaman bencana berupa banjir, kekeringan, longsor, kabakaran, abrasi, gelombang tinggi, angin puting beliung atau angin ribut. Keberagaman ras, suku dan kepercayaan, selain merupakan kekayaan, sisi lain juga dapat menjadi faktor yang memicu bencana sosial. Penguasaan dan pengelolaan SDA yang tidak berkeadilan, kerap menjadi pemicu konflik yang tak terkendali. Selain faktor non alam seperti bencana teknologi yang juga menjadi persoalan dalam penanggulangan bencana.

        Pemanasan global sebagai pemicu perubahan iklim menjadi persoalan lain. Perubahan iklim yang secara signifikan mempengaruhi risiko bencana, baik bencana hidrometeorologis yang secara langsung mempengaruhi seluruh variabel pembentuk dan penyebab risiko, juga memiliki pengaruh signifikan pada bencana geologis, sosial maupun bencana teknologi. Perubahan iklim secara signifikan mempengaruhi tingkat kerentanan maupun kapasitas penduduk dan wilayah dalam menghadapi ancaman sebagai bagian dari pembentuk risiko.

        Pengkajian Risiko Bencana merupakan piranti utama dalam melakukan berbagai upaya pengelolaan risiko yang berpotensi terjadi pada suatu wilayah. Pengkajian Risiko Bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh atas risiko bencana yang ada melalui pola hubungan antara variabel pembentuk dan penyebab risiko bencana; ancaman, kerentanan dan kapasitas. Penilaian tidak didasarkan penghitungan matematis murni, tapi menganalisis pola hubungan antar komponen-komponen dan indikator-indikator yang ada. Proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif, proses trianggulasi maupun ground check yang ketat akan menukenali berbagai upaya pengurangan risiko bencana yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan sumberdaya yang tersedia. Baik melalui upaya upaya pencegahan, mitigasi maupun kesiapsiagaan maupun menjadi bagian dalam menyiapkan pembangunan kembali paska bencana.

        Undang-undang No 24/2007 mengamanatkan, upaya penanggulangan bencana menjadi kesatuan atau sinergis dalam kebijakan pembangunan. Baik dalam bentuk regulasi, perencanaan pembangunan, penganggaran maupun pemantauan dan evaluasi. Kondisi ini sejalan dengan kesepakatan global terkait pengurangan risiko bencana sebagaimana tertuang dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) 2015-2030. Aksi medasar dalam SFDRR sebagai bagian dari PRB adalah memahami risiko bencana. Kebijakan dan praktik penanggulangan bencana harus didasarkan pada pemahaman tentang risiko bencana pada semua dimensi. Peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang risiko bencana akan semakin penting ke depan karena intensitas kejadian bencana pun semakin tinggi. Kurangnya pemahaman terhadap risiko bencana akan mengakibatkan tingginya dampak akibat kejadian bencana.

        Oleh karena itu, BNPB dan BPBD sebagai lembaga negara di pusat dan daerah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggara penanggulangan bencana akan secara konsisten dan aktif untuk menjalankan tugas dan fungsinya, BNPB dan BPBD berkewajiban untuk memastikan pelaksanaan teknis Kajian Risiko Bencana dilakukan berdasarkan kebijakan, peraturan teknis maupun kaidah-kaidah yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah. Tentu saja semua itu tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada dukungan dan peran aktif seluruh stakeholder yang sering disebut sebagai "Pentahelix" yaitu Pemerintah, Masyarakat, Dunia Usaha, Akademisi dan Media massa.


@agbp.2020






PERAN WIDYAISWARA DALAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI ERA NEW NORMAL




A.    Latar Belakang

Pandemi Corona Virus Disease 19 (COVID-19) merubah tatanan sosial di seluruh masyarakat. Masifnya penyebaran Virus Corona menuntut upaya seluruh pihak untuk mencegah penularannya, masyarakat diimbau bahkan dipaksa untuk tinggal di rumah termasuk bersekolah dan bekerja dianjurkan untuk dilakukan di rumah saja. Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa kondisi kehidupan masyarakat saat pandemi COVID-19 sudah bukan normal lagi namun new normal yang berarti bahwa  perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan COVID-19. WHO melalui Kepala BNPB sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan COVID-19, Doni Monardo menyampaikan beberapa indikator yang harus dipatuhi negara dalam menerapkan new normal sebagai berikut :

1. Tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan dengan cara memberlakukan beberapa protokol seperti wajib menggunakan masker, wajib menjaga kebersihan (cuci tangan dan hand sanitizer), hingga pembatasan pengunjung di sejumlah tempat

2. Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19.

3. Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif.

Penerapan new normal ini mencakup seluruh bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam dunia pelatihan, khususnya pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Peningkatan kompetensi ASN yang mencakup knowledge, attitude dan skill akan terwujud manakala  penyelenggaraan kegiatan pelatihan terutama  dalam proses pembelajaran terlaksana secara  efektif dan efisien. Sebab  melalui proses pembelajaran inilah transfer dan transform  pengetahuan yang berimplikasi pada perubahan  perilaku dilakukan. Akan tetapi dalam suasana new normal, penyelenggaraan kegiatan pelatihan yang mengutamakan sinergitas seluruh komponen yang ada dalam proses pembelajaran akan mendapatkan tantangan yang luar biasa. Salah satunya adalah adaptasi peran widyaiswara dalam kegiatan pembelajaran yang harus tetap mengutamakan kualitas pengajaran meskipun dengan berbagai keterbatasan proses pendidikan, pengajaran dan pelatihan (dikjartih) dalam suasana new normal yang harus mengutamakan protokol kesehatan.

 

B.     Rumusan Masalah

Widyaiswara sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri PAN RB Nomor 22 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya adalah suatu jabatan fungsional yang mempunyai tugas pokok mendidik, mengajar, melatih dan melakukan evaluasi dan pengembangan pelatihan pada lembaga pelatihan pemerintah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa widyaiswara memiliki peran yang sangat strategis dalam keberhasilan penyelenggaraan pelatihan. Widyaiswara dituntut professional dalam mengelola kelas, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga seorang widyaiswara dapat berperan sebagai fasilitator, motivator, inspirator, inovator, dinamisator dan role models dalam bidang pelatihan klasikal maupun non klasikal. Agar terjamin profesionalimenya maka Widyaiswara harus kompeten dalam bidangnya dan harus memiliki peran sangat penting dalam mewujudkan kualitas pembelajaran  pada suatu pelatihan. Sementara kualitas pembelajaran merupakan sebagai penentu dari kualitas Pendidikan namun dalam kondisi new normal, kualitas pembelajaran ini akan susah untuk diperoleh dengan maksimal. Untuk itu peran widyaiswara dalam pengembangan kompetensi aparatur sipil negara agar semakin berkualitas dan berkompeten sangat dibutuhkan.

Dalam era new normal ini, dimana setiap sendi kehidupan harus dilakukan “lockdown” sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran Virus Corona penyebab pandemi COVID-19, memberikan tantangan tersendiri pada peran widyaiswara dalam menyampaikan pembelajaran kepada aparatur sipil negara. Berbagai penelitian yang memperkirakan bahwa masa depan pemerintahan akan mengalami disrupsi di semua sektor, menguatnya artificial intelligence, penggunaan big data dan interaksi pelayanan online ternyata sudah terjadi saat ini serta harus dipahami, dipelajari dan dilaksanakan oleh seluruh ASN. Ditambah dengan tuntutan flexible work arrangement yang memaksa setiap ASN agar tidak terlalu banyak interaksi fisik di kantor sehingga istilah Working From Home, zoom meeting, dan lain sebagainya menjadi istilah umum dalam dunia pemerintahan, Selain itu visi pemerintah untuk menciptakan birokrasi berkelas dunia menjadi semakin tidak mudah dan penuh tantangan karena ciri birokrasi Indonesia yang sering bersifat careless, mengerjakan yang rutin, silo/ego sectoral dan tertutup membuat upaya flexible work arrangement akan semakin menghambat pencapaian visi pemerintah tersebut. Oleh karena itu peningkatan peran widyaiswara sangat dibutuhkan dalam  menghadapi persoalan birokrasi masa depan dalam suasana new normal saat ini

 

C.    Alternatif Solusi

Untuk menjawab tuntutan perubahan dalam dunia ASN, birokrasi pemerintah serta peningkatan kapasitas ASN dan birokrasi pemerintah di Indonesia dalam era new normal ini, widyaiwara harus mau dan mampu untuk berubah. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa widyaiswara adalah guru bangsa yang dituntut professional dalam mengelola kelas, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan dapat berperan sebagai fasilitator, motivator, inspirator, inovator, dinamisator dan role models. Untuk itu perlu berbagai upaya peningkatan peran widyaiswara diantaranya melalui upaya adaptasi terhadap perkembangan dunia di masa new normal saat ini.

Widyaiswara harus adaptif terdapat tuntutan cara kerja PNS dalam era new normal yaitu :

1. Bureaucracy operational efficiency. Untuk mewujudkan efisiensi dalam pelaksanaan birokrasi di Indonesia, widyaiswara harus menjadi motor penggerak untuk merubah mindset ASN yang sebelumnya tidak efektif bekerja, membuang waktu, boros dan kurang peduli (careless) dengan birokrasi yang melayani masyarakat secara prima menjadi mindset ASN yang cepat, tepat, efektif dan efisien dalam pelayan publik terutama pada saat new normal saat ini yang menuntut masyarakat beraktivitas fisik seminimal mungkin. Peran widyaiswara sebagai motivator, inspirator dan bahkan role model akan efektif dalam mewujudkan tata kerja PNS ini.

2.  Digital Literacy. Perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini memaksa seluruh masyarakat, termasuk ASN harus bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Revolusi Industri 4.0 yang merubah segala hal menjadi internet of things membuat ASN harus memahami teknologi digital, untuk itu digital literacy menjadi keniscayaan saat ini. Widyaiswara harus bisa mengambil peran sebagai fasilitator dan inovator dalam perkembangan teknologi ini baik dalam pelatihan maupun dalam kegiatan kerja ASN sehingga bangsa Indonesia dapat bersaing kompetitif dengan komunitas internasional, terutama dalam era new normal saat ini dimana teknologi informasi menjadi tulang punggung dalam segala hal.

3. Agile Mindset. Perubahan mindset ASN yang saat ini masih terkesan mengerjakan yang rutin, silo/ego sectoral dan tertutup serta bekerja santai harus segera diubah, Dunia sedang berlari kencang untuk bergerak maju dan merubah semuanya menjadi cepat, sederhana, efektif dan efisien terutama dalam era new normal saat ini. ASN Indonesia yang masih bermindset lama akan tergilas dan pada akhirnya dianggap tidak berguna. Untuk mencegah hal tersebut, widyaiswara harus berperan sebagai motivator, inspirator, innovator dan role model bagi ASN merubah mindset dalam bekerja menjadi lebih cepat, lincah dan inovatif dengan tujuan utama pelayanan prima bagi seluruh masyarakat dan kemajuan bangsa.

4.  Public service responsiveness. ASN sebagai pelayan masyarakat di era new normal ini harus bekerja dan bertindak secara new normal pula. ASN tidak bisa bekerja lagi seperti business as usual apalagi berprinsip Asal Bapak Senang, namun harus merubah pola pikir dan pola tindak sebagai ASN yang melayani masyarakat dengan responsif, cepat, tepat dan memuaskan. Hal ini kembali pada efektivitas dan efisiensi pekerjaan yang memang sangat dibutuhkan dalam era pandemi COVID-19 saat ini. Untuk itu widyaiswara harus menjadi fasilitator, motivator, inspirator, inovator, dinamisator dan role models bagi seluruh ASN untuk mananamkan budaya pelayanan publik ini saat proses belajar mengajar melalui ASN Corporate University, maupun dalam dunia kerja ASN sehingga kualitas ASN akan meningkat dan bisa bersaing dalam perubahan dunia saat ini.

5.  Integrated and Flexible Working Methods. Bekerja di kantor dalam jam kerja yang tetap dan rutin saat ini bukan masanya bagi ASN. Pandemi COVID-19 memunculkan kondisi new normal yang membuat setiap individu untuk membatasi diri dalam berinteraksi fisik, sehingga bekerja di rumah adalah keniscayaan. Oleh karena itu proses bisnis ASN akan dipaksa berubah dengan lebih mengandalkan teknologi informasi dan efektivitas dalam bekerja dengan tidak melihat lagi rutinitas dan jam kerja dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu widyaiswara harus menjadi fasilitator, motivator, inspirator, inovator, dinamisator dan role models dalam perubahan ini, yang menutut widyaiswara juga harus merubah diri untuk menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Berbagai upaya, seperti pembelajaran online, distance learning, efektivitas Learning Management System (LMS) dan metode-metode lain dipergunakan untuk mempermudah proses belajar mengajar dan menyesuaikan dengan Integrated and Flexible Working Methods ini, dengan tujuan utama  merubah pola pikir dan pola kerja ASN menjadi lebih baik.


Oleh karena itu widyaiswara di masa new normal ini harus mampu merubah diri dan mindset dengan selalu mengudate pemahaman serta sharing knowledge dengan membangun jejaring sebagai sarana berbagi ilmu dan berbagi pengalaman dan permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi ASN dan profesi Widyaiswara secara mandiri sehingga dapat selalu inovatif dan adaptif dalam perkembangan dunia saat ini.



@agbp.2020