Mengenal Wilayah Pesisir Indonesia dan
Kekayaan Alamnya
Wilayah Pesisir merupakan suatu wilayah yang tidak bisa
dipisahkan dalam luas wilayah Indonesia, mengingat garis pantai yang dimiliki.
Secara umum wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan
laut.
Supriharyono dalam buku A. Syahrin (2012:75)
mendefinisikan, kawasan wilayah pesisir sebagai wilayah pertemuan
antara daratan dan laut ke arah darat
wilayah pesisir meliputi bagian daratan,
baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut, dan perembesan air asin.
Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian
laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan karena kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya
pesisir yang dimiliki Indonesia tersebut antara lain berupa sumberdaya perikanan,
sumberdaya hayati (biodiversity) seperti mangrove, terumbu karang, padang
lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam termasuk bahan
tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Lahan pesisir (coastal land) yang landai seperti pantai
Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa dan Pantai Barat Sulawesi Selatan pada
umumnya secara geologis terbentuk oleh endapan alluvial yang subur dan dapat
menjadi lahan pertanian produktif. Di samping itu, kini banyak terungkap bahwa
wilayah lautan Indonesia memiliki harta karun yang banyak di dasar laut akibat
kapal-kapal pelayaran niaga yang karam pada masa lalu.
Namun demikian, sejauh ini pemanfaatan sumberdaya
kelautan masih jauh dari optimal. Pembangunan yang dilakukan pada wilayah
daratan menyebabkan kurang berkembangnya wilayah pesisir sehingga pada umumnya
masyarakat pesisir merupakan masyarakat miskin.
Selain itu, kegiatan pembangunan di wilayah daratan juga
menyisakan beragam permasalahan yang mengancam kesinambungan pembangunan,
seperti pencemaran, gejala penangkapan ikan berlebih (overfishing), penangkapan
ikan dengan bahan peledak, penambangan terumbu karang untuk bahan bangunan,
degradasi fisik habitat pesisir, konflik pemanfaatan ruang, dan lain
sebagainya.
Penelitian ITB Mengenai Potensi Tsunami di Selatan Jawa
Selain pemanfaatan sumberdaya kelautan yang masih jauh
dari optimal, Indonesia sebagai negara kepulauan juga dikelilingi oleh
serangkaian cincin api (ring of fire) yang membentang dari Nusa Tenggara, Bali,
Jawa, Sumatra, terus ke Himalaya, Mediterania, dan berujung di Samudera
Atlantik.
Inilah sebabnya di Indonesia memiliki banyak gunung api
aktif dan banyak terjadi gempa, yang paling fenomenal yakni letusan Gunung
Tambora pada tahun 1815 dan Tsunami Aceh tahun 2004. Cincin api yang terbentuk
dalam zona subduksi lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia ini merupakan
zona dimana terdapat banyak aktifitas seismik yang terdiri dari busur vulkanik
dan palung di dasar laut.
Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi
dan 81% dari gempa bumi terbesar di dunia terjadi di sepanjang Cincin Api ini.
Atas dasar inilah para peneliti di ITB (Institut Teknologi Bandung) melakukan
penelitian baru-baru ini mengenai skenario kasus terburuk potensi tsunami
sampai 20 m di pantai Selatan Jawa jika dua segmen megathrust pecah secara
bersamaan.
Apa itu megathrust ? Dalam istilah ilmu bumi, kata
'thrust' merujuk pada salah satu mekanisme Gerakan lempeng bumi yang
menimbulkan gempa dan memicu gelombang pasang atau Tsunami. Gerakan yang
dimaksud adalah lempeng Samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk
medan tegangan (stress) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat
bergeser secara tiba-tiba memicu gempa. Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng
benua yang berada di atas lempeng Samudra bergerak terdorong naik (thrusting).
Wilayah pertemuan antar lempeng ini disebut sebagai zona subduksi jika ditinjau
dari sudut pandang geologi tektonik.
Menurut penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Pusat Studi
Gempa Nasional (2017), ada sekitar 16 titik gempa megathrust yang tersebar di
sejumlah kota-kota besar. Di antaranya adalah Aceh-Andaman, Nias-Simeulue,
Kepulauan Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai--Pagai, Enggano, Selat Sunda Banten,
Selatan Jawa Barat, Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur, Selatan Bali, Selatan NTB,
Selatan NTT, Laut Banda Selatan, Laut Banda Utara, Utara Sulawesi, dan Subduksi
Lempeng Laut Pilipina.
Guru besar Seismologi Institut Teknologi Bandung (ITB)
Sri Widiyantoro bersama rekan penelitinya mengungkap bahwa dalam simulasi 300
menit yang telah dilakukan, skenario kasus terburuk potensi tsunami sampai 20 m
di pantai Selatan Jawa bagian Barat dan 12 m di pantai Selatan Jawa bagian
Timur, dengan ketinggian maksimum rata-rata mencapai 4,5 m atau 5 m. Pada
penelitian tersebut juga ditemukan ada celah seismik yang jelas di Selatan
Pulau Jawa dengan kedalaman kurang dari 30 km yang dapat menjadi sumber
potensial gempa bumi megathrust di masa akan datang.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan
oleh Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
tujuh tahun yang lalu yang menemukan adanya celah seismic di Mentawai dan di
Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh ITB merupakan
update dengan kajian yang lebih mendalam sehingga dapat dilakukan tindakan
penanganan bencana pada wilayah pesisir yang telah diteliti.
Tindakan Penanganan Bencana Wilayah Pesisir
Secara umum, tahap-tahap penanganan bencana dilakukan
berdasarkan siklus waktunya dan dibagi menjadi 4 kategori, yakni : (1)
Mitigasi, merupakan tahap awal penanganan bencana alam untuk mengurangi dan
memperkecil dampak bencana; (2) Kesiapsiagaan, merupakan perencanaan terhadap
cara merespons kejadian bencana; (3) Respons, merupakan upaya meminimalkan
bahaya yang diakibatkan bencana; (4) Pemulihan, merupakan upaya mengembalikan
kondisi masyarakat seperti seperti semula.
Fokus kembali ke Pulau Jawa, apabila diukur secara
vertikal dari Utara ke Selatan, antara pesisir Utara dengan pesisir Selatan
memiliki jarak kurang lebih 150 km. Hal ini akan menjadi suatu masalah untuk
penduduk yang tinggal di wilayah sekitar pesisir, pasti akan terkena terlebih
dahulu. Serta ditunjang dengan penelitian yang dilakukan oleh ITB sebelumnya,
belum bisa dipastikan dengan potensi tsunami setinggi 20 m akan menjangkau
wilayah daratan sejauh apa.
Langkah mitigasi yang harus pertama kali dilakukan yakni
membuat peta wilayah rawan bencana, dengan fokusan wilayah pesisir Selatan
Pulau Jawa. Dengan menggunakan data-data yang ada seperti kondisi pesisir
Selatan Pulau Jawa (baik penduduk, bangunan, serta akses jalan) dan model
tsunami yang telah dirancang, akan memberikan gambaran mengenai potensi daerah
dengan bahaya tingkat rendah sampai tinggi beserta estimasi biaya kerusakan
yang akan terjadi.
Selain itu, penguatan struktur pesisir juga perlu
dilakukan. Seperti penanaman pohon bakau dan penghijauan hutan yang setidaknya
bisa menahan tsunami yang nantinya akan datang. Pembuatan shelter atau tempat
perlindungan dari tsunami dan gempa dengan kerangka yang kuat sehingga tidak
bisa hancur. Shelter ini bisa dibangun di atas tanah maupun di bawah tergantung
dari peta wilayah rawan bencana.
Lalu yang terakhir yakni edukasi ke masyarakat,
memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di
wilayah rawan bencana sangatlah penting untuk mengurangi korban jiwa. Edukasi
yang diberikan bisa dibarengi dengan simulasi kegiatan sehingga bisa memberikan
gambaran bencana yang akan terjadi, tentunya dengan pendekatan dan gaya bicara
sesuai dengan daerah yang dituju.
Di tahap kesiapsiagaan, respons, dan
pemulihan, tidak bisa semuanya ditangani oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) sendiri, pastinya membutuhkan relawan. Partisipasi aktif pemerintah
daerah juga sangat diperlukan karena daerah memiliki otonom untuk mengatur
daerahnya sendiri, baik pra-bencana maupun pasca bencana. Kebijakan daerah
untuk mengatur wilayah pesisirnya harus mencapai 3 komponen penting, yakni
keseimbangan ekologis, keseimbangan pemanfaatan, dan keseimbangan dalam
pencegahan bencana (mitigasi).
Ketiga komponen tersebut sangat penting untuk
diperhatikan karena saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan lainnya.
Hal-hal terkait dengan lingkungan dan
kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang perlu untuk dikelola
dengan baik antara lain : lingkungan biofisik; habitat dan infrastruktur
penting (seperti mangrove, pulau-pulau kecil, estuari, terumbu karang, dan
industri minyak lepas pantai); aspek sosial ekonomi (penduduk dan tenaga kerja,
kelembagaan hukum, kegiatan perekonomian dan pembangunan); aktivias ekonomi;
dan bencana alam.
Berdasarkan poin-poin yang perlu dikelola daerah di atas,
daerah otonom memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menentukan aktivitas
pembangunan di wilayah pesisir, hal ini bisa dirangkum menjadi pengelolaan
pesisir terpadu (PPT). Pengelolaan Pesisir Terpadu merupakan langkah yang
sangat efisien secara ekonomis dan dipandang sebagai mekanisme institusional
yang diperlukan dalam mengelola wilayah pesisir. Kerangka kerja dari
Pengelolaan Pesisir Terpadu ini antara lain rencana strategis; rencana sosial;
rencana pengelolaan; dan rencana aksi.
Dalam konteks pengelolaan pesisir terpadu, zona yang
telah ditetapkan prioritas peruntukannya dapat dilakukan pembangunan sarana dan
prasarana pendukung atau kegiatan lainnya yang mempunyai konsistensi dan
sinergi dengan kegiatan yang ada. Untuk melindungi dan menjaga kelestariannya,
upaya penanganan bencana harus ditinjau secara komprehensif dan ramah
lingkungan menurut kerangka Pengelolaan Pesisir Terpadu.
Penulis : Aditya Nugraha
Sumber : https://www.kompasiana.com/adityanugraha9998/5f8793038ede481c1376ee32/potensi-tsunami-di-selatan-jawa-bagaimana-tindakan-penanganan-bencana-di-wilayah-pesisir?page=1
Gambar : https://assets.pikiran-rakyat.com/crop/0x33:918x573/x/photo/2020/09/26/777821027.jpg
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar apapun