Tanggal 25 November 2020 merupakan Hari Guru
Nasional ke 75. Peringatan ini
bertujuan untuk memberikan penghargaan dan dedikasi kepada guru-guru Indonesia.
Para pengajar ini lebih dikenal sebagai para pahlawan tanpa tanda jasa. Di
tengah baktinya dalam mencerdaskan bangsa, para guru juga dihadapkan pada
kondisi wilayahnya yang rawan bencana. Bagaimana kondisi dan perjuangan guru di
tengah bencana bisa dibaca di artikel karya Roni Tabroni, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah berikut
ini.
Tahun lalu, pasca-gempa melanda Lombok, saya turut tergabung beberapa hari dengan tim Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Jabar. Di sana berkesempatan meninjau beberapa lokasi terparah, termasuk menginjakkan kaki di Sembalun.
Di tempat yang mengagumkan ini, kondisinya sangat
menyedihkan, ratusan rumah rata dengan tanah, sebagiannya masih berdiri tetapi
kondisi rusak berat. Berbagai fasilitas umum pun turut hancur, tidak terkecuali
sekolah.
Saya sempat diajak melihat sekolah TK Muhammadiyah
yang sudah ambruk seluruhnya. Yang paling sedih ketika diajak berkunjung ke
rumah salah seorang gurunya yaitu Yanti. Yanti tergolong masih muda, anaknya
baru satu dan masih kecil sekali. Di pinggir rumahnya yang tinggal puing-puing
kami ngobrol, saya kagum dengan ceritanya.
Dia bertutur, di saat puncak gempa terjadi tengah
malam, rumahnya roboh seketika. Namun, pagi hari tidak ada yang paling
dikhawatirkan Yanti kecuali sekolah dan anak-anak kesayangannya. Ketika pagi
hari semua orang meratapi rumah dan harta bendanya, Yanti malah pergi ke
sekolah. Alasan Yanti, khawatir ada anak yang datang ke sekolah untuk belajar.
Dia akan merasa berdosa kalau anak mau belajar tetapi dirinya tidak ada di
lokasi hanya karena meratapi bencana yang menimpanya.
Memang ke sekolah tidak ada anak yang belajar,
karena semua warga kena bencana yang cukup parah. Tetapi Yanti tetap berangkat
ke sekolah selama seminggu. Ketika ada pengumuman dari kepala sekolah untuk
libur, baru dirinya berhenti pergi ke sekolahnya yang juga hancur itu.
Beberapa waktu lalu, di saat pergantian tahun yang
masih segar dalam ingatan kita, bencana besar melanda Ibu Kota negara dan
kota-kota lain di sekitarnya. Bahkan juga terjadi di kota dan kabupaten di
Indonesia. Hujan lebat mengakibatkan banjir bandang, longsor dan bencana lain
yang menyita perhatian banyak pihak.
Terlepas dari banyaknya penumpang gelap di saat
bencana melanda, kita menyaksikan kerugian harta benda, fasilitas umum dan
nyawa sekalipun. Kondisi ini membuat kepala daerah panik, mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk menghadapi ujian ini. Masyarakat dan aparat bahu membahu
menjadi bagian dari solusi.
Apa yang sesungguhnya yang tersisa dari sebuah
bencana, Harta benda kah? Anggota keluarga, atau harapan? Konon Jepang
menyandarkan harapan masa depannya kepada guru, ketika negara tersebut dijatuhi
bom yang menghabisi ribuan nyawa dan bencana berkepanjangan.
Di kita pun, yang paling penting dari sekian banyak yang harus diperhatikan pasca-bencana adalah guru. Sebagai pendidik anak-anak bangsa, guru menjadi pihak yang harus dibantu. Percuma sekolah masih berdiri kokoh jika gurunya menderita. Sebaliknya, kehadiran guru mungkin akan menjadi harapan anak-anak kendatipun ruang sekolahnya hancur dan tidak layak lagi.
Bencana banjir di Jakarta saja tidak kurang
menenggelamkan lebih dari 300 sekolah, dengan klaster yang berbeda-beda.
Jumlahnya akan jauh lebih fantastis jika dihitung secara nasional. Kondisi ini
cukup memprihatinkan karena kaitannya dengan kegiatan pendidikan yang
mengakibatkan ribuan anak tidak bisa belajar.
Jika mengacu pada Permendikbud Nomor 33 tahun 2019,
tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana, disana
dijelaskan bagaimana Pemerintah dari mulai pusat hingga daerah, bahkan satuan
pendidikan atau sekolah, harus bahu membahu menangani proses pendidikan dalam
kondisi darurat. Salah satu tugas Pemda misalnya dalam hal ini yaitu
menyediakan pos pendidikan untuk penanganan masalah pendidikan pasca bencana.
Jika dibaca lebih detail lagi, Permendikbud
memiliki payung hukum yang rinci terkait penanganan pendidikan pada saat dan
pasca bencana. Walaupun kemudian di lapangan mungkin aspek ini tidak menjadi
fokus utama karena terbagi konsentrasi dengan penanganan yang lainnya.
Tetapi jika kembali pada ilustrasi di tas, saya
melihat peran guru yang sangat urgen. Selain penyelamatan gedung sekolah dan
aset lainnya, yang paling penting adalah mengembalikan semangat para pendidik
dalam memberikan pelayanan di tengah bencana. Walaupun secara manusiawi,
guru-guru juga membutuhkan bantuan seperti yang lain, namun setidaknya ada upaya
yang dilakukan untuk tetap memperhatikan anak didiknya.
Sebaliknya, pemerintah dan semua pihak, pada saat
terjadi bencana, hingga kini mungkin belum menjadikan fokus penanganan dan
perhatian yang lebih kepada guru-guru. Padahal, yang kita harapkan pasca
bencana, sekolah tidak lama liburnya agar anak-anak tidak larut dalam duka.
Sudah saatnya memberikan perhatian lebih pada
guru-guru pada saat terjadi bencana. Kemendikbud, pemda, dan semua elemen
masyarakat harus berupaya agar proses pendidikan tetap berjalan, walaupun
secara fisik mungkin dianggap tidak layak. Secara substansi proses belajar
harus tetap berjalan, karena anak-anak bukan hanya butuh ilmu tetapi juga butuh
motivasi, agar mereka tetap memiliki harapan dan memelihara visi juga
cita-citanya.
Sumber : https://kumparan.com/roni-tabroni/guru-di-tengah-bencana-1sf6FvCpmtt/full
Gambar :
https://akcdn.detik.net.id/visual/2020/01/06/51f1158b-47d9-4dbc-bda6-fbdc942a8605_169.jpeg?w=650